Mohon tunggu...
Rusman
Rusman Mohon Tunggu... Guru - Libang Pepadi Kab. Tuban - Pemerhati budaya - Praktisi SambangPramitra
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

"Hidupmu terasa LEBIH INDAH jika kau hiasi dengan BUAH KARYA untuk sesama". Penulis juga aktif sebagai litbang Pepadi Kab. Tuban dan aktivis SambangPramitra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

1. Rusman: Denting Pedang di Pantai Tuban (e)

3 Juni 2019   16:51 Diperbarui: 4 Juni 2019   12:21 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pedang si gadis Manyuran

"Paman Karta !"

Orang berkuda, yang dipanggil Karta itu menghentikan kudanya. Dengan heran ia memandang Kembang Arum yang masih dengan pedangnya. 

Kemudian iapun memandang Sri Aji, Ki Palang Sisir, Ki Jala Sabrang, dan beberapa orang yang kasar dan liar itu.

"Angger Kembang Arum," terdengar suaranya tertahan-tahan, "apakah yang telah terjadi?"

Kembang Arum masih berdiri di tempatnya. Sejenak ia menjadi ragu-ragu. Untung Paman Karta datang. Orang yang dulu menjadi pengawal setia ayah, dan kini dengan setia pula melaksanakan pesan ayah, ialah mendampingi aku mengabdi di Keluarga Manyuro.

Karena itu sebelum ia menjawab, ia pun bertanya, "Kemanakah Paman akan pergi?"

Karta tidak segera menjawab. Sekali lagi dipandanginya Sri Aji dan Ki Palang Sisir berganti-ganti. Baru sejenak kemudian ia berkata.

"Aku mendapat tugas dari Nyai Ageng untuk segera menjemputmu. Nyai Ageng mencemaskanmu Ngger dan memerintahkan aku untuk mencarimu. Apakah yang telah terjadi di sini? Apakah kalian telah berkelahi?"

Kembang Arum mengangguk. "Ya, Paman."

Mendadak wajah Karta menjadi tegang. Dengan perlahan ia turun dari kudanya dan berkata, "Mengapa kalian berkelahi, Ngger. Apakah terjadi sesuatu denganmu? "

Gadis itu tidak menjawab. Namun tanpa ia sadari tangannya meraba lukanya. Setitik darah telah memerah di telapak tangannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun