Kalau kamu pecinta film dengan cerita yang banyak menyinggung kritik sosial, Pengepungan di Bukit Duri adalah jawabannya. Bagaimana tidak? Film ini merupakan salah satu film terbaru Indonesia yang syarat akan makna.
Film yang disutradarai oleh Joko Anwar ini mengangkat tema yang tidak biasa. Ya, kritik sosial menjadi konflik utama yang ada dalam film ini. Tidak hanya satu tapi berbagai aspek ikut terlibat mulai dari rasisme, sistem pendidikan, hingga kekerasan dan pembunuhan.
Film ini berlatar tahun 2027 di Indonesia yang menampilkan suasana distopia yang penuh dengan intrik yang menyinggung diskriminasi dan kekerasan terhadap salah satu etnis minoritas di Indonesia yaitu etnis Tionghoa
Bercerita tentang seorang guru bernama Edwin (Morgan Oey) yang sedang mencari keponakannya di salah satu sekolah SMA yaitu SMA Duri Jakarta. Sekolah tersebut dikenal bukan karena prestasinya, melainkan karena murid muridnya yang bermasalah.
Edwin yang digambarkan sebagai orang dengan keturunan etnis Tionghoa sering mendapatkan perlakukan yang buruk di sekolah itu. Terlebih oleh beberapa muridnya yang terbilang rasis dan kerap melakukan tindakan kekerasan.
Penampilan Morgan Oey sebagai Edwin dalam film ini digambarkan sebagai karakter guru yang manusiawi dengan ketegangan psikologis yang kuat. Omara Esteghlal sebagai Jefri juga mencuri perhatian dengan perannya sebagai murid yang keras kepala sekaligus korban lingkungan yang keras.
Akting para pemeran pendukung lain seperti Hana Malasan, Endy Arfian, dan Fatih Unru juga patut di apresiasi karena mampu membangun karakter yang hidup dan emosional sepanjang film berlangsung.
Film ini mengangkat isu-isu berat seperti kegagalan sistem pendidikan, rasisme, kekerasan, pembunuhan dan trauma lintas generasi yang membekas dalam masyarakat Indonesia.
Joko Anwar menggunakan pendekatan yang menarik untuk menampilkan versi suram dan brutal dari Indonesia yang bisa saja terjadi jika masalah-masalah sosial tidak terselesaikan.
Kritik sosial disampaikan secara halus melalui dialog dan situasi tanpa terkesan menggurui, sehingga mengajak penonton untuk merenung dan berdiskusi setelah menonton.
Pendekatan sejarah dalam film ini juga menyiratkan bahwa luka di masa lalu jika tidak diselesaikan dengan baik maka berpotensi mendatangkan masalah-masalah sosial baru di kehidupan selanjutnya.
Film yang sangat totalitas dari berbagai aspek mulai dari tema yang nyentrik, penyutradaraan, visual yang menarik, hingga akting dari tokoh-tokoh yang ada dalam film tersebut tidak tanggung-tanggung. Semua beriringan tanpa ada celah yang kosong.
Adegan perkelahian dalam film ini digarap dengan sangat brutal dan eksplisit, menampilkan pertarungan yang intens bahkan sejak dari menit pertama. Joko Anwar berhasil membangun ketegangan sejak adegan pembuka hingga klimaks di babak akhir, yang merupakan salah satu kekuatan dalam film ini.
Walaupun ada beberapa bagian yang terasa agak kendor dan panjang dalam membangun klimaks, ending film ini sanat memuaskan dan berhasil menjawab misteri yang dibangun sepanjang ceritanya.
Visualisasi Jakarta versi distopia yang menggambarkan kekacauan dlam masyarakat sangat kuat dengan sinematografi yang patut diacungi jempol, tata cahaya, dan warna dominan kuning yang menambah kesan cemas dan suram.
Atmosfer yang dibangun terasa nyata dan relevan, mengingatkan pada kota-kota besar yang penuh konflik sosial. Kondisi tersebut memperkuat pesan film dan membuat penonton seolah-olah hidup dalam situasi yang digambarkan
Namun, untuk menonton film ini kamu harus menyiapkan metal yang kuat. Karena adegan-adegan yang ditampilkan akan sangat membuat kita lelah, seperti diajak berlari maraton tanpa berhenti.
Bagaimana, apakah kamu tertarik untuk menyaksikan film ini. Jangan lewatkan, segera datang ke bioskop favoritmu ya!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI