Percakapan yang Tak Pernah Selesai: Sebuah Cerita Tentang Ruangan Enam Belas
Ada ruang-ruang tertentu yang mampu mengikat kenangan dengan begitu erat, seakan setiap dindingnya menyimpan potongan rasa yang enggan pudar. Ruangan itu adalah salah satunya. Ia bukan sekadar kelas, bukan sekadar tempat untuk belajar, melainkan ruang yang menyimpan cerita yang tak pernah selesai. Cerita tentang keberanian yang datang terlambat, tentang kata-kata yang gagal menemukan jalan, dan tentang cinta yang memilih untuk diam.
Hari itu, ruangan itu tampak sama seperti biasa. Dindingnya masih berdiri dengan warna yang perlahan memudar. Cahaya matahari menerobos lewat jendela, memantul lembut pada meja-meja kayu yang berderet rapi. Hanya ada satu hal yang berbeda iyalah ragamu sudah tak lagi di sana.
Bagi orang lain, ruangan itu mungkin tak memiliki arti apa-apa. Namun bagiku, ia adalah rumah bagi percakapan yang tak pernah selesai. Sebuah tempat yang menahan ribuan kata dalam keheningan, menunggu keberanian yang tak pernah lahir.
Kenangan yang Tak Terhapus
Aku masih ingat jelas hari dimana kita ada didalam. Kau, dengan masker hitam yang menutupi sebagian wajahmu, namun tak mampu menyembunyikan sorot mata yang teduh. Cahaya matahari jatuh di jilbab hitammu, menciptakan bayangan lembut yang begitu sulit kulupakan.
Aku duduk di sisi kirimu, berpura-pura sibuk dengan catatan, padahal dalam diam aku menghabiskan waktu untuk menatapmu. Setiap gerakanmu seperti sinyal, setiap helaan napas mu seolah mengisi ruang kosong dalam diriku. Aku ingin bicara, ingin berbicara sederhana---tentangmu. Namun setiap kali lidahku mencoba bergerak, keberanian itu runtuh begitu saja.
Hari-hari berlalu. Pertemuan kita di ruangan itu menjadi kebiasaan yang selalu kutunggu. Dalam pikiranku, percakapan itu selalu ku susun, kalimat demi kalimat, seakan aku sedang menulis naskah kehidupan yang sempurna. Tapi kenyataan selalu berbeda aku hanya menunduk setiap kali kau menoleh, takut tatapanmu akan membaca isi hatiku.
Kisah dalam Catatan
Karena tak mampu mengatakannya, aku memilih menulis. Aku beri nama buku itu "Ruangan 16". Dalam halaman-halamannya, aku mengabadikan setiap detail tentangmu cara ragamu bergerak saat angin menerobos jendela, bagaimana kau menyilangkan kaki ketika mendengarkan penjelasan yang panjang, hingga masker hitammu yang seakan menyimpan rahasia.
Dan yang paling sering ku tulis adalah satu hal keinginanku untuk sekadar menyebut namamu.
Namun waktu tidak pernah menunggu. Seperti jarum jam yang terus berputar tanpa kompromi, ia menjauhkan kita sedikit demi sedikit. Hingga tiba saat itu---hari terakhir. Kau berjalan keluar dari ruangan itu, melangkah pergi tanpa sempat menoleh. Sementara aku berdiri di ambang pintu, menggenggam selembar kertas kecil yang seharusnya berisi pengakuan---yang tak pernah sempat kuberikan.
Ruang yang Penuh Sunyi
Sejak hari itu, ruangan terasa asing. Aku tetap datang sesekali, duduk di bangku lama, menatap jendela yang kini hanya menampilkan langit kosong. Tak ada lagi suara tawamu, tak ada lagi langkah ringanmu. Yang tersisa hanya ilusi percakapan yang tak pernah sempat terucap, menggantung jauh di udara, .
Mungkin kau telah melupakan tempat itu, atau barangkali tak pernah sadar bahwa ada seseorang yang terus mengingat setiap detail tentangmu di sana. Tapi bagiku, setiap sudut ruangan ini bercerita. Tentang keberanian yang gagal, tentang impian yang tak pernah sampai, tentang rasa yang memilih bersembunyi dalam sunyi.
Pelajaran dari Keheningan
Kini, setelah waktu berlalu, aku kembali mendatangi ruangan itu. Bangkunya berubah, jendelanya berganti warna, tapi bagiku ia tetap sama. Karena yang kutemukan di sini bukan sekadar ruang kosong, melainkan sisa cerita cinta yang tersusun tampa henti. Aku sadar bahwa tidak semua perasaan harus diungkapkan, tidak semua cinta harus terbalas, dan tidak semua dialog harus dimulai. Ada kisah yang memang ditakdirkan untuk berakhir dalam diam bahkan selama-lamanya.
Dan di sanalah letak keindahannya---dalam kesederhanaan rasa yang tak pernah usai, dalam percakapan yang hanya hidup di kepala. Kini aku menulis, bukan untukmu, tapi untuk diriku sendiri. Sebagai cara berdamai, sebagai cara untuk menerima bahwa beberapa cerita cukup menjadi rahasia antara aku dan waktu.
Ruangan itu masih berdiri, menahan kisah yang tak pernah sempurna, menyimpan dialog yang tak pernah sampai. Ia adalah bukti bahwa cinta kadang tak butuh kata untuk menjadi abadi---cukup dengan keheningan yang setia.
*Rizkika*
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI