"Endonesia Raya, merdeka merdeka. Tanahku negeriku yang kucinta"
Setiap pagi jam 6.00, di TV selalu diputar lagu kebangsaan "Indonesia Raya". Tapi telinga ini terasa tersayat karena di lagu itu ada yang melafalkan "Endonesia Raya"
Bukan cuma masalah bunyi, tapi rasa hormat yang ikut terkikis. Lagu kebangsaan itu bukan jingle iklan yang bebas diubah sesuka hati. Apalagi ini menyangkut identitas negara.
Kesalahan ini juga sering terdengar di acara resmi. Orang-orang yang seharusnya paham etika bernegara malah ikut melestarikan pengucapan yang salah. Mereka sering berbicara soal nasionalisme dan cinta tanah air, tapi detail sederhana seperti melafalkan nama negara dengan benar saja masih meleset.
Kalau "Indomie" Bisa, Kenapa "Indonesia" Nggak Bisa?
Pernah dengar nggak ada yang bilang "Endomie"? Nggak pernah kan? Indomie saja bisa diucapkan dengan benar Begitu juga "Superindo", nggak pernah ada yang melafalkan "Superendo". Ini membuktikan satu hal: masalahnya bukan lidah atau kebiasaan, tapi rasa peduli.
Saat menyanyikan lagu kebangsaan, yang keluar seharusnya bukan cuma suara, tapi juga rasa hormat. Kalau untuk produk mie instan dan supermarket saja kita bisa menjaga pelafalan, kenapa untuk negara sendiri malah longgar?
Sebagian orang mungkin menganggap ini sepele. Katanya, yang penting kan artinya sama. Salah besar. Pelafalan itu bagian dari identitas. Indonesia itu nama resmi, melekat di konstitusi, di paspor, di seluruh perjanjian internasional. Mengubahnya, apalagi di momen formal, sama saja meremehkan simbol negara.
Cinta Tanah Air Bukan Sekadar Kata
Meski saya kecewa dengan pemerintahan sekarang, mulai dari kebijakan absurd sampai drama politik yang melelahkan, tapi rasa cinta pada tanah air bukan soal siapa yang berkuasa.
Indonesia adalah tanah kelahiran, tempat tumbuh, tempat kembali. Bendera merah putih tetap merah putih, lagu kebangsaan tetap "Indonesia Raya".
Menghormati simbol negara adalah bentuk cinta paling sederhana, bahkan ketika kita kritis pada pemerintah. Mengkritik pemerintah itu hak rakyat, tapi mengabaikan hormat pada negara itu kelalaian.
Mulai dari Hal Kecil, Dampaknya Besar
Perubahan besar sering dimulai dari kebiasaan kecil. Kalau semua orang mulai peduli melafalkan "Indonesia" dengan benar di lagu kebangsaan, itu tanda kesadaran kolektif meningkat. Jangan tunggu harus ada peraturan khusus atau sanksi. Kesadaran itu seharusnya lahir dari diri sendiri.
Kamu mungkin berpikir, "Ah, cuma satu huruf vokal yang beda." Tapi satu huruf itu memisahkan kita antara sekadar formalitas dan penghormatan yang tulus.
Sama seperti kalau nama kamu salah sebut, lama-lama pasti jengkel kan? Negara juga punya nama yang layak diucapkan dengan benar.
Saatnya Serius dengan Hal yang Terlihat Sepele
Kita sering terjebak pada pemikiran bahwa nasionalisme itu harus besar-besaran, atau penuh pengorbanan. Padahal menghargai simbol negara lewat hal-hal sederhana seperti pelafalan yang tepat adalah bagian dari nasionalisme yang konsisten.
Kalau untuk hal sekecil ini saja kita abai, bagaimana mau konsisten membela negara di hal-hal besar? Cinta tanah air bukan cuma saat ada momen heroik, tapi justru terlihat di keseharian.
Akhir kata, jangan tunggu sampai anak-anak ikut mewarisi kebiasaan salah ini. Ingatkan kalau ada yang salah ucap. Jadilah contoh yang benar.
Indonesia layak disebut dengan benar, apalagi saat diiringi melodi "Indonesia Raya". Kalau untuk merek dagang saja kita bisa disiplin, masa untuk negara sendiri nggak peduli?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI