Semua pencari kerja pasti pernah menemukan sebuah lowongan yang persyaratannya bikin geleng-geleng kepala. Itu adalah fenomena unik bernama "unicorn candidate syndrome".
Ini bukan penyakit menular yang bikin demam, tapi semacam delusi yang menjangkiti banyak perusahaan di Indonesia. Delusi ini bikin mereka percaya kalau di luar sana ada satu kandidat sempurna, yang punya semua kualifikasi akademis, pengalaman kerja, soft skill mumpuni, dan kepribadian yang klop banget sama budaya perusahaan. Pokoknya paket lengkap yang jarang banget bisa ditemui!
Mitos atau Realita? Mencari Unicorn di Tengah Gerombolan Kuda
Berapa sih persentase manusia di Indonesia yang bisa memenuhi semua ekspektasi setinggi langit ini? Mungkin angkanya mendekati 0,0 sekian persen.
Bahkan kalau kita pakai teropong bintang paling canggih pun, menemukan "unicorn candidate" ini jauh lebih susah daripada mencari sinyal di pelosok desa. Kalau pun ada, orangnya mungkin sudah keburu direkrut sama perusahaan multinasional yang menawarkan gaji setinggi langit dan tunjangan yang bikin iri tetangga.
Realitanya, harapan perusahaan untuk menemukan kandidat seperti ini ibarat mencari jarum di tumpukan jerami. Sudah gitu, jeraminya ditaruh di dalam gudang. Susah banget!
Efek Domino dari Syndrome Ini: Nggak Cuma Bikin Pusing HRD
Fenomena "unicorn candidate syndrome" ini punya efek domino yang lumayan parah, lho. Nggak cuma bikin pusing tim HRDÂ yang harus menyaring ribuan lamaran dengan kriteria yang nyaris mustahil, tapi juga merugikan kandidat berbakat lainnya.
Banyak talenta-talenta hebat yang sebenarnya punya potensi besar dan skill yang relevan, justru terlewatkan cuma karena mereka tidak memenuhi satu atau dua poin di daftar kriteria ideal yang super panjang.
Saya sering melihat teman yang punya pengalaman segudang, prestasi membanggakan, dan integritas tinggi, tapi tetap kesulitan mencari kerja karena "kurang" ini-itu di mata perusahaan.
Padahal jika dilihat dari kacamata objektif, mereka itu sudah lebih dari cukup. Masalahnya, standar "cukup" itu sudah dinaikkan sampai ke level "unicorn" oleh perusahaan-perusahaan yang terjangkit sindrom ini.