Presiden Jokowi dikritik habis-habisan terkait dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 terkait bakal digalakkannya investasi baru di bidang Miras (Minuman Keras).
Dari kalangan Islam, para pemerhati, dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya serasa hampir semuanya mencaci maki kebijakan itu. Saya sendiri yang pro dengan kebijakan itu, sepertinya hanya sendirian.
Bagi daerah-daerah Bali, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Timur, kebijakan Jokowi itu justru sangat disambut baik.
Dalam agama Islam memang ada larangan untuk mengonsumsi minuman yang beralkohol (Minol), namun Minol ini bisa menjadi ladang devisa dan keuntungan lainnya.
Toh, PP yang ditandatangani pada 2 Pebruari 2021 itu menyebutkan investasi Minol itu hanya diperbolehkan di provinsi-provinsi tertentu yang berbasis non-muslim. Yaitu selain seperti yang sudah disebutkan di atas, (Bali, NTT, Sulawesi Utara), juga Papua.
Dalam agama Kristen ada acara Perjamuan Kudus yang mengunakan anggur sedikit (dan roti).Â
Minol di daerah-daerah tersebut sudah turun-temurun menjadi sukacita dan digunakan dalam acara ritual-ritual tertentu. Adapun Minol tradisional tersebut dapat disebutkan antara lain: arak Bali, sopi, ciu, cap tikus, saguer, lapen, moke, dan sebagainya.
Jelas itu bisa disebut sebagai sebuah kebijakan, atau suatu kearifan lokal.
Cholil Nafis, Ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia) menegaskan melegalkan Miras sama saja dengan mengijinkan beredarnya Minol itu dan hukumnya haram.
"Tak ada yang namanya kearifan lokal, negara harus melarang peredaran Minol dan menghentikan investasi tersebut," kata Cholil.
Investasi di luar keempat provinsi yang disebutkan di atas, harus mendapatkan ijin dari BKPM.