Dukungan Relawan Jokowi untuk Prabowo 2 Periode: Sinyal Jokowi Dirinya Masih King-Maker
Deklarasi dukungan relawan Bara JP untuk pasangan Prabowo-Gibran dua periode sontak menimbulkan perdebatan politik. Dukungan ini disampaikan oleh Ketua Bara JP, Willem Frans Ansanay, yang menyebut pernyataan itu adalah amanat langsung dari Jokowi. Publik pun bertanya, mengapa dukungan datang jauh sebelum Pilpres 2029, bahkan saat periode pemerintahan baru saja berjalan. Secara etis, relawan seharusnya sudah tidak relevan setelah pemilu berakhir. Namun, fakta bahwa Jokowi kembali mengaktifkan jaringan relawannya menunjukkan ada maksud politik tersembunyi. Ini bukan sekadar dukungan, tetapi sinyal strategis.
Relawan dalam demokrasi modern biasanya bersifat temporer, bekerja untuk mengantarkan kandidat hingga terpilih. Setelah itu, mereka bubar atau bertransformasi menjadi kelompok sipil yang netral. Tetapi dalam kasus Bara JP, relawan justru tetap aktif dan diberi peran politik oleh Jokowi pasca kekuasaannya berakhir. Hal ini menandakan bahwa Jokowi memandang relawan sebagai aset politik jangka panjang, bukan hanya kendaraan sesaat. Ia ingin menunjukkan bahwa kendati di luar sistem formal, dirinya tetap memiliki kekuatan sosial yang bisa digerakkan. Konsep ini mempertegas posisi Jokowi sebagai king maker.
Dukungan Bara JP muncul tidak lama setelah Presiden Prabowo melakukan reshuffle Kabinet Merah Putih. Dalam reshuffle itu, sejumlah menteri yang dekat dengan Jokowi, termasuk Sri Mulyani dan Budi Arie terdepak dari posisi strategis. Kondisi ini menimbulkan spekulasi bahwa pengaruh Jokowi dalam pemerintahan mulai terkikis. Karena itu, arahan kepada relawan dapat dibaca sebagai respon politik. Jokowi mengirim sinyal ke Prabowo bahwa dirinya tetap punya basis kekuatan yang tidak bisa diabaikan. Ia ingin memastikan bahwa hubungannya dengan Prabowo tetap setara dalam bargaining politik.
Secara politik, deklarasi dini ini memiliki tujuan ganda. Pertama, mengamankan posisi Gibran sebagai calon potensial dalam Pilpres 2029. Kedua, meyakinkan Prabowo bahwa Jokowi masih sepenuhnya mendukung jalannya pemerintahan. Dengan begitu, Prabowo diharapkan tidak menganggap reshuffle sebagai langkah pemutusan pengaruh Jokowi. Relawan dijadikan instrumen untuk menegaskan loyalitas sekaligus kekuatan. Jokowi bermain pada dua sisi: menjaga dukungan sambil menegaskan eksistensinya.
Namun, dari sisi etika politik, langkah ini menimbulkan problem serius. Relawan yang seharusnya sudah tidak relevan justru dihidupkan kembali sebagai alat politik pribadi. Demokrasi menuntut jarak sehat antara mantan presiden dengan kontestasi yang terlalu dini. Tetapi Jokowi memilih jalan lain, tetap berada dalam orbit kekuasaan. Akibatnya, publik bisa menilai bahwa relawan bukan lagi milik rakyat, melainkan instrumen elite. Hal ini mengaburkan batas antara kepentingan publik dan kepentingan keluarga politik.
Jokowi tampaknya sadar bahwa reputasi politiknya masih melekat kuat di mata masyarakat. Ia berusaha menjual kembali kredibilitas relawannya sebagai mesin politik yang pernah berhasil. Bara JP disebut sebagai salah satu relawan yang berkontribusi dalam kemenangan Prabowo--Gibran. Dengan mengangkat kembali nama relawan ini, Jokowi ingin mengingatkan Prabowo bahwa tanpa dukungan relawan, jalan menuju kursi presiden bisa lebih terjal. Sinyal ini dimaksudkan sebagai pengingat bahwa ia masih pemain utama.
Di sisi lain, deklarasi ini bisa menimbulkan risiko. Prabowo bisa saja melihat langkah ini sebagai bentuk intervensi terlalu dini. Jika itu terjadi, maka dukungan relawan justru berbalik menjadi beban politik. Relawan yang mestinya memperkuat legitimasi, bisa dianggap sebagai alat tekanan dari Jokowi. Ini akan menimbulkan ketegangan dalam hubungan elite di lingkar kekuasaan. Politik pun berpotensi berjalan dengan aroma ketidakpercayaan.
Meski demikian, sinyal Jokowi melalui relawan juga bisa dianggap efektif. Dengan cara ini, Jokowi menjaga posisinya agar tetap relevan di tengah pergeseran elite. Ia memanfaatkan momentum reshuffle untuk menunjukkan bahwa dirinya belum selesai. Prabowo pun terpaksa menghitung ulang peta dukungan politik. Jika Jokowi benar-benar mampu mengendalikan relawan, maka kekuatan itu akan tetap berharga dalam politik elektoral mendatang. Jokowi sekali lagi membuktikan naluri politiknya tajam.
Implikasi bagi demokrasi jelas tidak ringan. Jika relawan terus dipelihara sebagai alat politik mantan presiden, maka regenerasi politik bisa terhambat. Ruang partisipasi rakyat berkurang, digantikan loyalitas kepada figur tertentu. Demokrasi akhirnya terperangkap dalam siklus oligarki yang sama. Jokowi, alih-alih memberi contoh untuk mundur secara elegan, justru menambah beban etika demokrasi. Ini menjadi catatan kritis bagi arah demokrasi Indonesia ke depan.
Kesimpulannya, dukungan Bara JP untuk Prabowo dua periode lebih dari sekadar deklarasi relawan. Ia adalah sinyal politik Jokowi bahwa dirinya masih king maker, meski sudah tidak berkuasa secara formal. Sinyal ini ditujukan untuk Prabowo agar tidak meremehkan pengaruhnya. Namun, langkah ini juga membuka pertanyaan besar soal etika politik dalam demokrasi. Jokowi ingin tetap diperhitungkan, bahkan ketika waktunya sudah berlalu. Dengan demikian, Indonesia kembali diingatkan bahwa politik kita masih dikuasai permainan elite.