Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Advokat - Jurnalis

Menulis apa saja yang mungkin dan bisa untuk ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Bertemu Asosiasi Ojol KW : Gibran Buat Blunder Sandiwara Pencitraan yang Memakukan

2 September 2025   07:45 Diperbarui: 2 September 2025   07:45 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (CNBC Indonesia)

Bertemu Asosiasi Ojol "KW": Gibran Buat Blunder Sandiwara Pencitraan yang Memalukan

Pertemuan Gibran Rakabuming Raka dengan sekelompok orang yang mengaku pengemudi ojek online (ojol) di Istana Wakil Presiden menyisakan tanda tanya besar. Para pengemudi yang hadir ternyata bukan bagian dari asosiasi resmi yang selama ini memperjuangkan nasib driver di lapangan. Publik pun langsung menyebut mereka sebagai "ojol KW," istilah gaul untuk sesuatu yang palsu atau tiruan. Panggung yang seharusnya menjadi ruang dialog malah berubah menjadi tontonan penuh kecurigaan. Apalagi, asosiasi Garda Indonesia secara tegas menyatakan tidak mengenal mereka. Dari titik ini, aroma blunder pencitraan politik terasa begitu kuat.

Kematian Affan Kurniawan, seorang driver ojol, mestinya menjadi momentum empati yang tulus. Keluarga korban tentu sedang berduka dan membutuhkan perhatian negara tanpa basa-basi. Namun, tragedi ini justru dipakai sebagai latar pertemuan yang terkesan artifisial. Publik sulit menerima jika duka rakyat kecil hanya dijadikan panggung simbolik bagi seorang pejabat tinggi. Ada rasa getir ketika kesedihan keluarga dibalut dengan adegan pencitraan. Seolah, kehilangan itu hanya menjadi properti politik semata.

Mengapa Gibran tidak mengundang asosiasi ojol yang sah dan sudah lama berjuang untuk anggotanya? Pertanyaan ini menggema di ruang publik tanpa ada jawaban memadai. Mengabaikan organisasi resmi sama saja dengan melecehkan keringat para pengurus dan anggota yang setiap hari menghadapi persoalan nyata di jalanan. Asosiasi itu terbentuk dari solidaritas, bukan dari kemunculan instan menjelang panggung politik. Mengundang kelompok tak jelas identitas hanya menambah luka kolektif pengemudi yang selama ini merasa diabaikan. Ini jelas meruntuhkan kepercayaan.

Ketua Umum Garda Indonesia, Raden Igun Wicaksono, bahkan menegaskan bahwa pengemudi beratribut ojol yang menemui Gibran pada 31 Agustus 2025 bukanlah anggota Garda dan tidak mewakili asosiasi resmi mana pun. Ia menyatakan bahwa tidak ada koordinasi dengan pihak istana terkait pertemuan tersebut, sehingga kehadiran kelompok itu terasa sangat janggal. Pernyataan ini bukan sekadar soal identitas, tetapi juga menyinggung legitimasi representasi. Garda Indonesia merasa langkah itu melecehkan perjuangan yang selama ini mereka lakukan secara sah dan terdaftar. Fakta ini semakin menguatkan anggapan bahwa yang terjadi hanyalah panggung pencitraan dengan aktor "KW."

Blunder ini memperlihatkan kegagalan membaca situasi politik dengan bijak. Pencitraan bisa menjadi bumerang ketika publik merasa dilecehkan oleh simbol palsu. Dalam dunia digital yang serba transparan, sulit menyembunyikan detail, dari sepatu mahal hingga jaket baru yang belum bercampur debu jalanan. Netizen segera menyorotinya, dan narasi "ojol KW" pun menggema. Alih-alih membangun simpati, pertemuan itu justru menimbulkan sinisme. Apa yang diharapkan sebagai strategi merakyat berubah menjadi drama yang dipertanyakan.

Seorang pemimpin mestinya hadir dengan kejujuran sikap. Menjadi negarawan bukanlah soal membangun citra sesaat, melainkan menempatkan kebenaran di atas kepentingan politik pribadi. Gibran kehilangan kesempatan emas untuk membuktikan bahwa ia benar-benar mendengar suara rakyat. Dengan memilih jalan pintas, menghadirkan perwakilan "KW", ia malah menutup pintu dialog substantif. Ketika kebenaran diganti dengan simbol palsu, yang lahir hanyalah ketidakpercayaan. Dan ketidakpercayaan itu sulit ditebus kembali.

Dalam sejarah politik Indonesia, pencitraan memang sering dipakai sebagai jurus utama. Namun, publik hari ini jauh lebih kritis, lebih berani menguliti kepalsuan. Pertemuan Gibran menjadi contoh bagaimana ruang pencitraan bisa runtuh hanya karena salah memilih representasi. Masyarakat tidak lagi terpukau oleh panggung yang diatur rapi, melainkan mencari keaslian yang sederhana. Ketika panggung palsu terbongkar, maka seluruh pesan yang ingin disampaikan ikut hancur. Itulah risiko dari politik kosmetik.

Kasus ini juga menyingkap wajah asli relasi kekuasaan dengan rakyat kecil. Rakyat hanya diundang ketika diperlukan untuk kepentingan simbol, bukan untuk mendiskusikan solusi nyata. Padahal, problematika ojol sangat kompleks: tarif yang tidak adil, keamanan kerja yang rapuh, hingga perlindungan sosial yang minim. Semua itu seharusnya menjadi agenda serius negara, bukan sekadar bahan foto di ruang istana. Jika pola ini terus berulang, jarak antara elit dan rakyat akan semakin melebar. Pada akhirnya, demokrasi hanya tinggal nama.

Dari perspektif moral politik, memanfaatkan duka untuk panggung pencitraan adalah bentuk kekeliruan etis. Kesedihan keluarga Affan tidak bisa dijadikan komoditas. Tugas seorang pemimpin adalah menyalurkan rasa belasungkawa menjadi tindakan nyata: menegakkan hukum, memperkuat perlindungan, dan memastikan tragedi tak berulang. Jika yang muncul justru "show" yang penuh kepalsuan, maka rasa hormat kepada pemimpin itu hilang. Sebab, rakyat menilai bukan dari kata-kata, melainkan dari ketulusan. Ketulusan yang absen akan meninggalkan jejak luka panjang.

Maka, pertemuan dengan ojol "KW" harus dibaca sebagai cermin dari kualitas kepemimpinan. Gibran gagal menunjukkan sikap negarawan dan justru terjebak dalam panggung pencitraan. Ia tampak lebih sibuk membangun citra ketimbang menyelesaikan persoalan riil rakyat. Publik pun berhak mengkritisi, sebab pemimpin sejati hanya lahir dari kejujuran, bukan dari kepalsuan. Jika momentum ini tidak dijadikan pelajaran, maka sejarah akan mencatatnya sebagai blunder politik. Dan blunder ini akan membayangi langkah menuju suksesi 2029.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun