Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Advokat - Jurnalis

Menulis apa saja yang mungkin dan bisa untuk ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Saya Hidup dalam Logos : Melawan Hume dan Kant, Membela Akal Budi Manusia

1 Juni 2025   22:52 Diperbarui: 1 Juni 2025   22:52 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan: Di Bawah Cahaya Logos

Di tengah dunia yang semakin larut dalam kedangkalan digital, dibombardir oleh fragmen informasi yang berserakan tanpa arah dan makna, manusia perlahan kehilangan kemampuan berpikir menyeluruh. Kita dikepung oleh algoritma yang lebih cepat dari kesadaran, statistik yang lebih dipercaya daripada kebijaksanaan, dan opini yang lebih digandrungi daripada kebenaran. Dalam kekacauan epistemik ini, saya memilih untuk tidak menyerah pada kekaburan, melainkan berdiri memegang lentera tua bernama Logos, sebuah cahaya abadi yang pertama kali dinyalakan oleh Heraclitus, ditinggikan ke langit ide oleh Plato, dan disusun menjadi sistem logika oleh Aristoteles.

Bagi saya, Logos bukan sekadar istilah dalam kamus filsafat atau jargon akademik yang asing bagi kehidupan praktis. Logos adalah napas intelektual saya, irama kesadaran saya, dan kerangka eksistensi saya. Ia bukan hanya alat untuk memahami dunia, tetapi inti dari dunia itu sendiri, sebuah prinsip rasional yang menembus realitas, menata kekacauan, dan memungkinkan kita berbicara tentang hukum, keadilan, moralitas, bahkan kebenaran.

Dalam terang inilah saya menemukan kembali gema dari René Descartes, yang dengan tegas memulai revolusi rasional modern dengan postulatnya yang mengguncang zaman: Cogito, ergo sum : Aku berpikir, maka aku ada. Ini bukan sekadar pernyataan logis; ini adalah manifesto keberanian rasio, sebuah pengakuan bahwa eksistensi manusia menemukan pijakan awalnya justru dalam aktivitas berpikir. Descartes tidak menjadikan keberadaan sebagai premis, tetapi sebagai konsekuensi dari kesadaran rasional. Ia menghidupkan kembali Logos dalam bentuk modern: sebagai jaminan pertama keberadaan, sebelum pengalaman, sebelum dunia luar.

Maka saya tidak menjadikan akal hanya sebagai alat bantu bertahan hidup dalam arus dunia yang kompleks. Bagi saya, akal adalah ekspresi tertinggi dari eksistensi manusia, bukan hasil evolusi kebetulan atau konstruksi sosial, melainkan bagian dari tatanan kosmik yang rasional. Karena itu, dengan kesadaran yang tidak ragu dan keberpihakan yang tidak malu, saya menyatakan bahwa saya hidup dalam Logos, dan Logos hidup dalam saya.

Saya berdiri, bukan di jalan netral, tetapi dengan tegas berpihak pada Logos. Saya berdiri bersama Plato, meneruskan semangat rasionalisme Descartes, dan menolak tunduk pada filsafat skeptis yang melemahkan martabat rasio manusia. Filsafat seperti itu, betapapun cemerlang dan berpengaruh, telah mereduksi akal menjadi sekadar bayang-bayang atau alat subjektif. Saya berbicara tentang David Hume, sang empiris radikal, dan Immanuel Kant, sang arsitek kategori-kategori mental. Mereka telah memberikan sumbangan besar bagi sejarah filsafat, namun saya percaya: ada saatnya kita harus berani menyatakan bahwa sebuah gagasan, meskipun monumental, bisa membatasi potensi akal manusia untuk menembus realitas yang sebenarnya.

Dan dalam arus sejarah intelektual itu, saya memilih posisi saya, di bawah cahaya Logos, di jalan rasionalitas yang percaya bahwa manusia tidak terputus dari realitas, melainkan merupakan refleksi rasional dari struktur realitas itu sendiri.

Hume dan Ilusi Kausalitas: Meragukan Keteraturan Alam

Dalam sejarah filsafat modern, David Hume berdiri sebagai pengganggu besar terhadap kepercayaan kita pada keteraturan alam. Dengan tajam dan sistematis, ia membongkar fondasi rasional dari hubungan sebab-akibat, menyatakan bahwa kausalitas tidak pernah dapat dibuktikan secara logis atau empiris. Yang kita miliki, menurutnya, hanyalah pengalaman berulang: kita melihat bahwa setiap kali bola biliar A menabrak bola biliar B, maka B bergerak. Kita terbiasa melihat peristiwa itu, lalu pikiran kita membentuk keyakinan bahwa A menyebabkan B.

Namun, bagi Hume, ini hanya kebiasaan psikologis, bukan kepastian objektif. Tidak ada alasan logis untuk memastikan bahwa masa depan akan selalu menyerupai masa lalu. Tidak ada jaminan bahwa matahari akan terbit esok hari, kecuali karena kita telah terbiasa melihatnya terbit. Maka kausalitas, dalam pandangan Hume, adalah fiksi mental, kepercayaan tanpa dasar rasional yang nyata.

Tapi di sinilah saya berdiri, dan saya bertanya dengan keras dan jujur:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun