Sawerigading sebagai Makhluk Liminal
Dalam narasi I La Galigo, Sawerigading adalah manusia setengah dewa, anak Batara Guru dari Botting Langi’ dan We Nyili’ Timo dari Ale Kawa. Dengan demikian, ia secara simbolik dan eksistensial berada di antara dunia ilahi dan dunia manusia. Ia lahir dengan tugas mendamaikan kekacauan, menjadi jembatan antara langit dan bumi, namun juga menjadi simbol benturan antara takdir ilahi dan nafsu manusiawi.
Konsep ini mencerminkan eksistensi manusia sebagai makhluk liminal, yaitu berada dalam ambiguitas ontologis: tidak sepenuhnya suci, tapi juga tidak sepenuhnya fana. Filosof seperti Martin Heidegger menyebut manusia sebagai “Da-sein” , makhluk yang menyadari keberadaannya dan mengalami keterlemparan dalam dunia. Dalam konteks ini, Sawerigading adalah representasi “Da-sein” versi Bugis.
Perbandingan dengan Kosmologi dan Legenda Lain
1. Yunani Kuno – Prometheus dan Perseus
Tokoh seperti Prometheus, yang mencuri api dari para dewa untuk manusia, menunjukkan fungsi liminal seperti Sawerigading: penghubung antara dunia atas dan dunia manusia, namun harus membayar mahal atas pelanggaran tatanan ilahi. Begitu pula Perseus, anak dari Zeus dan manusia, yang menjadi pahlawan di antara dua dunia.
2. Hindu – Trimandala dalam Kosmologi Bali
Dalam tradisi Bali, dikenal Trimandala:
Utama Mandala (suci)
Madya Mandala (dunia sosial)
Nista Mandala (dunia bawah/tak tersucikan)
Konsep ini mirip dengan Botting Langi’, Ale Kawa, dan Peretiwi. Ketiganya menunjukkan bahwa banyak peradaban mengembangkan tiga lapisan kosmos sebagai struktur spiritual dan moral semesta.
3. Jawa – Cerita Roro Jonggrang
Cerita rakyat seperti Roro Jonggrang, yang melibatkan intervensi kekuatan gaib dan dunia manusia, menunjukkan bahwa batas antara alam manusia dan dunia roh adalah tema umum dalam kosmologi nusantara. Namun berbeda dengan Sawerigading yang menjelajah dua dunia, tokoh Jawa seringkali justru menjadi korban akibat kegagalan menjaga harmoni antar dunia.