Ini mirip dengan perjalanan eksistensial Gilgamesh, yang kehilangan Enkidu tetapi akhirnya menemukan makna hidup bukan dalam keabadian, melainkan dalam keberlanjutan kehidupan.
Kontras dengan Legenda Lain: Rama dan Odisseus
Rama (Ramayana) – Hinduisme
Rama mengikuti dharma dan memilih pengorbanan pribadi demi tatanan sosial dan ilahi. Sebaliknya, Sawerigading justru melawan tatanan itu untuk menciptakan dharma-nya sendiri, sebagaimana manusia eksistensialis.
Odisseus (Yunani)
Seperti Sawerigading, Odisseus juga mengarungi lautan, mengalami penderitaan dan godaan. Namun, Odisseus kembali ke rumah sebagai pahlawan; Sawerigading kembali sebagai manusia baru, yang tidak hanya mengalami dunia, tetapi menemukan dirinya di luar kerangka asalnya.
Sawerigading adalah representasi arketipal dari manusia Bugis sebagai pejuang makna, bukan penerima pasif dari struktur mitologis. Ia adalah pahlawan yang jatuh, patah, bangkit, dan memilih, dan dengan itu ia melampaui dirinya sendiri.
Dalam konteks ini, legenda Bugis tidak hanya relevan secara budaya lokal, tetapi juga mengandung filsafat universal tentang eksistensi, dan layak disandingkan dengan mitos-mitos besar dunia.
5. Nilai Heroisme dan Kehormatan (Siri’ dan Pesse)
Dalam struktur nilai masyarakat Bugis, dua konsep utama yang membentuk jati diri dan moralitas kolektif adalah siri’ (harga diri, kehormatan) dan pesse (empati, rasa iba). Legenda Sawerigading tidak hanya menampilkan figur mitologis, tetapi juga mengkristalkan keduanya sebagai pilar etika lokal.
Siri’: Etika Kehormatan sebagai Tanggung Jawab Eksistensial