Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Advokat - Jurnalis

Menulis apa saja yang mungkin dan bisa untuk ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perspektif Filosofis dari Kisah Sawerigading dalam Sastra Bugis Klasik

20 Mei 2025   21:35 Diperbarui: 21 Mei 2025   07:48 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (Daerah kita)

4. Eksistensialisme Bugis: Petualangan Sebagai Jalan Menemukan Diri

Petualangan Sawerigading bukan sekadar kisah heroik yang berisi pertarungan dan pelayaran antarkerajaan, melainkan sebuah metafora dari pencarian jati diri manusia. Ini adalah spiritual journey yang menyelami makna terdalam dari menjadi manusia di antara kodrat, cinta, dan kebebasan.

Dalam kerangka eksistensialisme, seperti yang dikemukakan oleh Søren Kierkegaard dan Jean-Paul Sartre, manusia dilemparkan ke dunia tanpa peta makna yang pasti. Ia harus memilih, bertindak, dan menanggung akibat dari keputusannya. Inilah yang terjadi pada Sawerigading.

Sawerigading: Subjek Eksistensial yang Otonom

Sawerigading tidak menyerah pada takdir yang telah digariskan dewata. Ia menolak untuk menjadi sekadar objek dari struktur kosmis, dan justru menjadi subjek otonom yang berani memilih meski penuh resiko.

Dalam pandangan Kierkegaard, inilah tahap "knight of faith", yaitu manusia yang berani melangkah melampaui etika umum demi suara batin yang paling otentik, bahkan jika itu berarti menempuh jalan yang tak dapat dimengerti orang lain. Sawerigading mencintai saudari kembarnya, namun ketika cinta itu tak mungkin diwujudkan, ia memilih melanjutkan hidup dan mencari makna di luar cinta yang mustahil.

Petualangan sebagai Wujud Krisis dan Pilihan

Pelayaran Sawerigading melintasi negeri-negeri asing adalah bentuk krisis identitas, atau dalam istilah Heidegger, kondisi "Geworfenheit" (keterlemparan),  manusia yang menyadari keberadaannya dalam dunia yang absurd dan tidak ia pilih.

Namun, seperti Sartre katakan, "eksistensi mendahului esensi", artinya makna bukan warisan, melainkan proyek. Sawerigading menjadikan penderitaannya sebagai titik tolak penciptaan diri. Ia mengada secara otentik, dalam dunia yang asing, dengan menyusun nilai, cinta, dan takdirnya sendiri.

Menikahi Perempuan Mirip Saudarinya: Simbol Transendensi

Ketika Sawerigading akhirnya menikahi seorang perempuan yang mirip saudarinya di negeri Cina, itu bukan bentuk pelarian, tetapi penyelesaian simbolik atas konflik batinnya. Ia tidak tunduk pada cinta yang terlarang, tetapi mentransendensikannya ke bentuk yang bisa diterima dunia dan dirinya sendiri. Di sini ia menciptakan makna baru, bahwa cinta bisa dialihkan tanpa dihianati, bahwa hasrat bisa dikendalikan tanpa disangkal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun