4. Eksistensialisme Bugis: Petualangan Sebagai Jalan Menemukan Diri
Petualangan Sawerigading bukan sekadar kisah heroik yang berisi pertarungan dan pelayaran antarkerajaan, melainkan sebuah metafora dari pencarian jati diri manusia. Ini adalah spiritual journey yang menyelami makna terdalam dari menjadi manusia di antara kodrat, cinta, dan kebebasan.
Dalam kerangka eksistensialisme, seperti yang dikemukakan oleh Søren Kierkegaard dan Jean-Paul Sartre, manusia dilemparkan ke dunia tanpa peta makna yang pasti. Ia harus memilih, bertindak, dan menanggung akibat dari keputusannya. Inilah yang terjadi pada Sawerigading.
Sawerigading: Subjek Eksistensial yang Otonom
Sawerigading tidak menyerah pada takdir yang telah digariskan dewata. Ia menolak untuk menjadi sekadar objek dari struktur kosmis, dan justru menjadi subjek otonom yang berani memilih meski penuh resiko.
Dalam pandangan Kierkegaard, inilah tahap "knight of faith", yaitu manusia yang berani melangkah melampaui etika umum demi suara batin yang paling otentik, bahkan jika itu berarti menempuh jalan yang tak dapat dimengerti orang lain. Sawerigading mencintai saudari kembarnya, namun ketika cinta itu tak mungkin diwujudkan, ia memilih melanjutkan hidup dan mencari makna di luar cinta yang mustahil.
Petualangan sebagai Wujud Krisis dan Pilihan
Pelayaran Sawerigading melintasi negeri-negeri asing adalah bentuk krisis identitas, atau dalam istilah Heidegger, kondisi "Geworfenheit" (keterlemparan), manusia yang menyadari keberadaannya dalam dunia yang absurd dan tidak ia pilih.
Namun, seperti Sartre katakan, "eksistensi mendahului esensi", artinya makna bukan warisan, melainkan proyek. Sawerigading menjadikan penderitaannya sebagai titik tolak penciptaan diri. Ia mengada secara otentik, dalam dunia yang asing, dengan menyusun nilai, cinta, dan takdirnya sendiri.
Menikahi Perempuan Mirip Saudarinya: Simbol Transendensi
Ketika Sawerigading akhirnya menikahi seorang perempuan yang mirip saudarinya di negeri Cina, itu bukan bentuk pelarian, tetapi penyelesaian simbolik atas konflik batinnya. Ia tidak tunduk pada cinta yang terlarang, tetapi mentransendensikannya ke bentuk yang bisa diterima dunia dan dirinya sendiri. Di sini ia menciptakan makna baru, bahwa cinta bisa dialihkan tanpa dihianati, bahwa hasrat bisa dikendalikan tanpa disangkal.