Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Advokat - Jurnalis

Menulis apa saja yang mungkin dan bisa untuk ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perspektif Filosofis dari Kisah Sawerigading dalam Sastra Bugis Klasik

20 Mei 2025   21:35 Diperbarui: 21 Mei 2025   07:48 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (Daerah kita)

Makna Filosofis

Kosmologi tiga dunia ini mengajarkan bahwa manusia tidak bisa hidup hanya dalam dimensi lahiriah. Ia mesti menjaga keseimbangan antara spiritualitas, kehidupan sosial, dan kesadaran akan kekuatan alam. Sawerigading, sebagai arketipe ini, membawa pesan bahwa hidup adalah upaya terus-menerus menjembatani kekuatan dalam diri yang bersifat ilahi, manusiawi, dan bawah sadar.

3. Eksistensialisme Bugis: Takdir, Cinta, dan Pemberontakan

Legenda Sawerigading tidak hanya berbicara tentang perjalanan fisik dan kepahlawanan, tetapi juga menyimpan drama eksistensial yang kompleks. Tokoh ini merepresentasikan pergumulan batin manusia Bugis dalam menghadapi takdir, cinta yang tabu, dan pilihan moral yang mengguncang tatanan ilahi.

Takdir dan Pemberontakan

Sawerigading jatuh cinta pada saudara kembarnya sendiri, We Tenriabeng, sebuah cinta yang dianggap melanggar hukum langit dan norma adat. Dalam dunia Bugis, cinta semacam ini merupakan bentuk pemberontakan terhadap kodrat, namun juga menunjukkan kebebasan kehendak yang dimiliki manusia.

Di sinilah muncul pertanyaan eksistensial ala Jean-Paul Sartre:
Apakah manusia terikat mutlak oleh takdir? Ataukah ia bebas menentukan hidupnya meski harus menanggung akibatnya?

Sawerigading memilih untuk menantang takdir, berlayar ke negeri-negeri jauh, dan menjalani penderitaan demi pencarian cinta dan jati diri. Pilihan ini mengilustrasikan bahwa dalam tradisi Bugis, keberanian melawan takdir (siri’) adalah bentuk keagungan jiwa, meskipun harus dibayar dengan penderitaan.

Cinta sebagai Kutukan dan Kesadaran Diri

Cinta Sawerigading kepada saudarinya adalah cermin konflik antara eros dan ethos, antara nafsu dan nilai. Dalam tafsir filosofis, ini mencerminkan tragedi manusia yang sadar akan kehendaknya, tetapi terikat oleh norma eksternal. Cinta dalam hal ini menjadi kutukan sekaligus pendorong bagi pembentukan identitas diri.

Filsuf seperti Kierkegaard melihat penderitaan karena cinta sebagai jalan menuju kesadaran spiritual, dan hal ini tampak jelas dalam kisah Sawerigading. Ia tidak sekadar tokoh heroik, melainkan tokoh tragik eksistensial, yang mengenal cinta, melawan norma, dan akhirnya berdamai dengan kenyataan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun