Makna Filosofis
Kosmologi tiga dunia ini mengajarkan bahwa manusia tidak bisa hidup hanya dalam dimensi lahiriah. Ia mesti menjaga keseimbangan antara spiritualitas, kehidupan sosial, dan kesadaran akan kekuatan alam. Sawerigading, sebagai arketipe ini, membawa pesan bahwa hidup adalah upaya terus-menerus menjembatani kekuatan dalam diri yang bersifat ilahi, manusiawi, dan bawah sadar.
3. Eksistensialisme Bugis: Takdir, Cinta, dan Pemberontakan
Legenda Sawerigading tidak hanya berbicara tentang perjalanan fisik dan kepahlawanan, tetapi juga menyimpan drama eksistensial yang kompleks. Tokoh ini merepresentasikan pergumulan batin manusia Bugis dalam menghadapi takdir, cinta yang tabu, dan pilihan moral yang mengguncang tatanan ilahi.
Takdir dan Pemberontakan
Sawerigading jatuh cinta pada saudara kembarnya sendiri, We Tenriabeng, sebuah cinta yang dianggap melanggar hukum langit dan norma adat. Dalam dunia Bugis, cinta semacam ini merupakan bentuk pemberontakan terhadap kodrat, namun juga menunjukkan kebebasan kehendak yang dimiliki manusia.
Di sinilah muncul pertanyaan eksistensial ala Jean-Paul Sartre:
Apakah manusia terikat mutlak oleh takdir? Ataukah ia bebas menentukan hidupnya meski harus menanggung akibatnya?
Sawerigading memilih untuk menantang takdir, berlayar ke negeri-negeri jauh, dan menjalani penderitaan demi pencarian cinta dan jati diri. Pilihan ini mengilustrasikan bahwa dalam tradisi Bugis, keberanian melawan takdir (siri’) adalah bentuk keagungan jiwa, meskipun harus dibayar dengan penderitaan.
Cinta sebagai Kutukan dan Kesadaran Diri
Cinta Sawerigading kepada saudarinya adalah cermin konflik antara eros dan ethos, antara nafsu dan nilai. Dalam tafsir filosofis, ini mencerminkan tragedi manusia yang sadar akan kehendaknya, tetapi terikat oleh norma eksternal. Cinta dalam hal ini menjadi kutukan sekaligus pendorong bagi pembentukan identitas diri.
Filsuf seperti Kierkegaard melihat penderitaan karena cinta sebagai jalan menuju kesadaran spiritual, dan hal ini tampak jelas dalam kisah Sawerigading. Ia tidak sekadar tokoh heroik, melainkan tokoh tragik eksistensial, yang mengenal cinta, melawan norma, dan akhirnya berdamai dengan kenyataan.