Di panggung gemerlap cahaya jingga,
seorang maestro naik dengan senyum raja,
tangannya menggenggam gitar baru,
senarnya bersih, nadanya palsu,
janji mengalun seperti nyanyian surga,
tapi gitar sumbang merobek udara.
Lidahnya menari bagai syair pujangga,
mengisahkan harapan, membangun fatamorgana,
rakyat bersorak, berharap nada merdu,
tapi lagu hanya gemuruh debu,
melodi berubah menjadi luka,
karena gitar sumbang memetik dusta.
Ia berkata tentang tangan yang menabur kasih,
tentang negeri yang akan berseri,
tapi langkahnya menuju istana emas,
meninggalkan jalanan penuh keluh,
air mata rakyat hanyalah irama lirih,
dibungkam gitar sumbang yang tak peduli.
Lagu yang ia nyanyikan tentang kemakmuran,
tentang kebijakan yang katanya berkeadilan,
tapi liriknya ditulis para saudagar,
nada-nadanya dikunci oleh tuan tanah,
petikan tak pernah mengenal keadilan,
sebab gitar sumbang menipu telinga.
Jemarinya lincah menari di atas senar,
seakan memahami setiap irama keluh,
tapi akordnya hanya untuk mereka yang punya,
bukan untuk mereka yang lapar dan papa,
lagunya hanya gema janji yang pudar,
sebab gitar sumbang mengaburkan makna.
Angin bertiup membawa harapan,
tapi melodi yang datang adalah kebisuan,
bibirnya bersenandung tentang bahagia,
sementara lumbung tetap hampa,
hujan turun di ladang yang tak subur,
karena gitar sumbang tak mengenal peduli.
Langkahnya tegap di podium raksasa,
disambut tepuk tangan para tuan,
tapi suara rakyat memantul sia-sia,
terperangkap di antara tembok-tembok kuasa,
tak satu pun gema yang dijawab,
karena gitar sumbang menutupi suara.
Ia berkata tentang negeri yang bangkit,
tentang bangsa yang tak lagi sakit,
tapi di balik layar, benang ditarik,
oleh tangan-tangan yang tak tampak,
wayang dimainkan, panggung dikunci,
dan gitar sumbang menari sendiri.
Tak ada petani dalam nyanyian itu,
tak ada nelayan, tak ada buruh,
melodi hanya milik para bangsawan,
senarnya dipetik oleh para pialang,
tak satu pun akord untuk mereka yang kecil,
sebab gitar sumbang menolak berpihak.
Rakyat menunggu dengan telinga terbuka,
tapi yang datang hanya gema lama,
senyum yang ia bawa bukan kehangatan,
melainkan tabir untuk luka yang dalam,
dan dalam setiap nada yang dimainkan,
gitar sumbang terus melahirkan dusta.
Langit mendung di atas istana kaca,
angin membawa tangis dari lorong-lorong sempit,
lalu lagu dimainkan sekali lagi,
tetap sama, tetap hampa,
dan suara rakyat menguap sia-sia,
karena gitar sumbang mengalihkan nada.
Ia berdiri dengan mahkota barunya,
memetik senar yang ia anggap indah,
tapi melodi yang lahir adalah keluh kesah,
bukan himne bagi yang berharap,
karena irama telah dijual sejak awal,
dan gitar sumbang terus membelah udara.
Malam jatuh di tanah yang letih,
bintang-bintang bersembunyi di balik kelam,
ia masih bernyanyi di panggung tinggi,
dengan nada yang semakin hampa,
dan rakyat tetap bertanya dalam sepi,
mengapa gitar sumbang tak juga hancur?
Matahari baru terbit tanpa cahaya,
hanya bayangan yang merayap perlahan,
dan lagu masih dimainkan seperti biasa,
tanpa nada baru, tanpa harapan,
sementara kebenaran terkubur semakin dalam,
di balik gitar sumbang yang terus berdusta.
Ia berkata tentang masa depan yang cerah,
tentang janji yang takkan rapuh,
tapi tangannya tak pernah turun ke tanah,
tak pernah merasakan dingin dan peluh,
karena panggungnya tinggi di atas awan,
dan gitar sumbang menjaga jaraknya.
Ada suara yang perlahan bangkit,
dari gang-gang sempit dan sawah yang kering,
suara mereka tak lagi gemetar,
tapi seperti ombak yang menuju pantai,
dan dalam arus yang semakin deras,
gitar sumbang mulai retak suaranya.
Langkahnya tetap di altar kekuasaan,
tangan-tangan setia masih bertepuk,
sorak-sorai datang dari meja jamuan,
bukan dari lorong, bukan dari ladang,
dan dalam ruang-ruang yang semakin sempit,
gitar sumbang terus bernyanyi sendiri.
Langit makin berat, udara makin pengap,
jerit yang lirih berubah pekik,
tapi lagu yang ia petik tetap sama,
tak ada nada baru, tak ada nada lain,
hanya gema yang makin hambar,
karena gitar sumbang enggan diam.
Di mimbar tinggi ia tetap bertahan,
senarnya berdenting, nadanya palsu,
tangan-tangan di sekeliling tetap menari,
mengayunkan harta, membagi kuasa,
dan di bawah panggung yang mulai retak,
gitar sumbang masih menguasai nada.
Di tepi jalan, perut-perut merintih,
anak-anak tidur dalam pelukan lapar,
di dapur-dapur kosong, api padam,
sementara di istana jamuan terhidang,
tapi lagu tetap berkumandang megah,
dan gitar sumbang menenggelamkan derita.
Di rumah-rumah reyot, malam menggigil,
tulang-tulang renta menggenggam sepi,
obat hanya tinggal dalam mimpi panjang,
karena nada yang mengalun tak mengenal pedih,
hanya irama yang terus menyihir,
sebab gitar sumbang membiarkan luka.
Di ladang kering, petani menunduk,
menunggu hujan yang tak pernah tiba,
sementara kapal-kapal dagang berlalu,
membawa rezeki ke meja mereka yang berkuasa,
dan rakyat hanya mendengar di kejauhan,
lagu gitar sumbang yang tak berpihak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI