Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Advokat - Jurnalis

Menulis apa saja yang mungkin dan bisa untuk ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Gitar Baru yang Sumbang

3 Maret 2025   22:17 Diperbarui: 3 Maret 2025   22:25 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (Kreasi Pribadi)

Langit mendung di atas istana kaca,
angin membawa tangis dari lorong-lorong sempit,
lalu lagu dimainkan sekali lagi,
tetap sama, tetap hampa,
dan suara rakyat menguap sia-sia,
karena gitar sumbang mengalihkan nada.

Ia berdiri dengan mahkota barunya,
memetik senar yang ia anggap indah,
tapi melodi yang lahir adalah keluh kesah,
bukan himne bagi yang berharap,
karena irama telah dijual sejak awal,
dan gitar sumbang terus membelah udara.

Malam jatuh di tanah yang letih,
bintang-bintang bersembunyi di balik kelam,
ia masih bernyanyi di panggung tinggi,
dengan nada yang semakin hampa,
dan rakyat tetap bertanya dalam sepi,
mengapa gitar sumbang tak juga hancur?

Matahari baru terbit tanpa cahaya,
hanya bayangan yang merayap perlahan,
dan lagu masih dimainkan seperti biasa,
tanpa nada baru, tanpa harapan,
sementara kebenaran terkubur semakin dalam,
di balik gitar sumbang yang terus berdusta.

Ia berkata tentang masa depan yang cerah,
tentang janji yang takkan rapuh,
tapi tangannya tak pernah turun ke tanah,
tak pernah merasakan dingin dan peluh,
karena panggungnya tinggi di atas awan,
dan gitar sumbang menjaga jaraknya.

Ada suara yang perlahan bangkit,
dari gang-gang sempit dan sawah yang kering,
suara mereka tak lagi gemetar,
tapi seperti ombak yang menuju pantai,
dan dalam arus yang semakin deras,
gitar sumbang mulai retak suaranya.

Langkahnya tetap di altar kekuasaan,
tangan-tangan setia masih bertepuk,
sorak-sorai datang dari meja jamuan,
bukan dari lorong, bukan dari ladang,
dan dalam ruang-ruang yang semakin sempit,
gitar sumbang terus bernyanyi sendiri.

Langit makin berat, udara makin pengap,
jerit yang lirih berubah pekik,
tapi lagu yang ia petik tetap sama,
tak ada nada baru, tak ada nada lain,
hanya gema yang makin hambar,
karena gitar sumbang enggan diam.

Di mimbar tinggi ia tetap bertahan,
senarnya berdenting, nadanya palsu,
tangan-tangan di sekeliling tetap menari,
mengayunkan harta, membagi kuasa,
dan di bawah panggung yang mulai retak,
gitar sumbang masih menguasai nada.

Di tepi jalan, perut-perut merintih,
anak-anak tidur dalam pelukan lapar,
di dapur-dapur kosong, api padam,
sementara di istana jamuan terhidang,
tapi lagu tetap berkumandang megah,
dan gitar sumbang menenggelamkan derita.

Di rumah-rumah reyot, malam menggigil,
tulang-tulang renta menggenggam sepi,
obat hanya tinggal dalam mimpi panjang,
karena nada yang mengalun tak mengenal pedih,
hanya irama yang terus menyihir,
sebab gitar sumbang membiarkan luka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun