Bagi publik, hal ini sebenarnya bisa dipandang sebagai suatu hal yang menggelikan sekaligus mengkhawatirkan.
Dikatakan menggelikan karena, apakah masalah gizi buruk dan stunting yang mana salah satu penyelesaiannya oleh Presiden dicanangkan lewat program MBG ini, benar-benar harus dilakukan dengan pendekatan yang militeristik ketimbang dari ahli gizi ataupun gastronomi? Mengingat dalam dunia pangan-gizi, disiplin komando ala militer belum tentu sejalan dengan fleksibilitas teknis di dapur dan meja makan ala sipil.
Sedangkan yang untuk mengkhawatirkannya, publik juga memandang ini boleh jadi sebagai "biang kerok" dari kasus keracunan massal MBG yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir di berbagai daerah. Yang mana alasan klasiknya adalah akibat lemahnya pengawasan dapur dan kurangnya tenaga ahli di lapangan. Yang realitanya juga, sebagian besar daripada tenaga pengawas tersebut berasal dari latar belakang militer-logistik, bukannya spesialis pangan atau ahli gizi-gastronomi.
Dalam kasus ini pula, BGN barangkali barulah satu contoh kecil saja. Tapi terlepas daripada itu, ia boleh jadi merupakan simbol dari bagaimana bentuk militerisasi di kehidupan masyarakat mulai perlahan-lahan bangkit kembali, hingga berpotensi dapat mengancam supremasi sipil yang sudah diperjuangkan saat reformasi tahun 1998 lalu.
TNI Jaga Kejaksaan: Isyarat Militerisme Menguat di Era Prabowo?
Langkah pemerintah yang menugaskan TNI untuk menjaga kantor Kejaksaan juga tak kalah memunculkan tanda tanya. Apakah ini sekadar bentuk pengamanan objek vital negara, atau merupakan tanda nyata bahwa militer sudah masuk terlalu jauh ke ranah sipil? Sebab bukannya jadi memperkuat penegakan hukum sipil, langkah ini justru berpotensi dapat mengaburkan prinsip supremasi hukum itu sendiri.
Ditambah lagi, beberapa koalisi masyarakat sipil memandang bahwa pengerahan personel TNI ke wilayah kejaksaan sebagai suatu kebijakan yang "tidak proporsional". Sebab menurut mereka, TNI seharusnya fokus kepada aspek pertahanan negara, bukannya masuk ke ranah penegakan hukum yang dilaksanakan oleh kejaksaan sebagai instansi sipil.
Bergerak daripada itu, langkah mengejutkan ini jadi menuai pertanyaan dari publik: apakah Indonesia sedang bergerak ke arah state of exception? Sebuah kondisi di mana hukum sipil bisa dikesampingkan oleh logika 'demi keamanan dan kestabilan negara'?
Penambahan Komando Teritorial: Distensi Pengawasan oleh Militer?
Presiden Prabowo Subianto, yang juga eks Danjen Kopassus, baru-baru ini meresmikan penambahan sejumlah komando teritorial (10/8/2025). Presiden beralasan, bahwa penambahan sejumlah komando teritorial baru ini sebagai bentuk kesiapan pertahanan negara dalam menghadapi situasi global yang penuh ketidakpastian.
Lebih kurang, komposisi dari komando teritorial baru itu adalah: 6 Komando Daerah Militer, 14 Komando Daerah Angkatan Laut, 3 Komando Daerah Angkatan Udara, dan 1 Komando Operasi Udara. Nantinya, sejumlah komando teritorial baru ini akan memperluas cakupan militer hingga ke daerah-daerah yang sebelumnya hanya di-cover lewat Korem saja.
Tapi terlepas daripada itu semua, langkah ini selain jadi 'merogoh kocek dalam-dalam' anggaran negara, juga boleh jadi bukan hanya sekadar soal pertahanan saja. Publik harus selalu mengedepankan nalar kritis, dengan adanya kans militer yang dapat mengontrol masuk ke ruang-ruang publik lokal akibat langkah ini. Belum lagi perluasan struktur komando teritorial ini, cenderung lebih berfungsi layaknya instrumen pengawasan sosial dan politik kepada masyarakat, yang implikasinya juga dapat berujung pada pengaburan batas antara fungsi pertahanan dan kontrol sipil.
Jadi kalau sudah begini, maka jangan heran bila nanti derap sepatu lars tidak hanya terdengar di dalam pagar militer saja, melainkan juga sudah menjalar ke jalan-jalanan kota.