Mohon tunggu...
Mamik Rosita
Mamik Rosita Mohon Tunggu... Dosen, Supervisor, Praktisi Pendidikan

Blok ini berisi tentang pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Di Mihrab Pengabdian : Menemukan Kembali Api dalam Diri Pendidik Maarif

21 September 2025   18:32 Diperbarui: 21 September 2025   18:57 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen: Pengurus LP Maarif NU kabupaten Jombang

Sahabat seperjuangan, para pejuang di garda terdepan LP Ma'arif NU

Di usia 96 tahun, Ma'arif tidak sedang meniup lilin. Ia mengajak kita semua untuk hening sejenak, menundukkan kepala dan hati, untuk bertanya pada diri sendiri: "Untuk apa sesungguhnya kita di sini?"

Tema Harlah, "Bermutu dalam Ilmu, Bermartabat dalam Sikap," bukanlah target capaian yang terpajang di dinding kantor. Ia adalah cermin. Cermin untuk melihat, sudahkah ruh perjuangan para muassis itu masih menyala terang, atau hanya tinggal bara redup dalam rutinitas kita sehari-hari? Mari kita gunakan cermin itu untuk merefleksikan dua pilar agung ini.

"Bermutu dalam Ilmu": Dari Mengajar Menuju Menerangi

Kita semua tahu cara mengajar. Kita menguasai materi, kita menyusun RPP, kita mengejar target kurikulum. Namun, Hadratussyaikh KH Hasyim Asy'ari mendirikan lembaga ini bukan untuk mencetak para penghafal, melainkan untuk melahirkan para pemilik cahaya. Ilmu yang bermutu dalam bingkai Ma'arif bukanlah tentang seberapa banyak yang diketahui siswa, melainkan seberapa dalam ilmu itu mengubah jiwanya.

Refleksi kita, Saat kita masuk ke kelas, apakah niat kita hanya "mentransfer materi" agar selesai? Ataukah kita masuk dengan doa, "Ya Allah, jadikanlah lisan hamba perpanjangan cahaya-Mu, untuk membuka hati anak-anak ini"? Renungkan, apakah kita lebih bangga saat siswa kita hafal seratus istilah sains, atau saat satu dari mereka bertanya dengan mata berbinar, "Subhanallah, Bu, ternyata alam semesta ini begitu teratur ya?" Di situlah mutu ilmu yang sesungguhnya: ilmu yang melahirkan kekaguman dan ketakziman pada Sang Pencipta.

Mutu ilmu kita terletak bukan pada canggihnya teknologi yang kita pakai, tapi pada kemampuan kita menghubungkan setiap pengetahuan duniawi dengan sumber ilahiahnya. Mengaitkan pelajaran ekonomi dengan prinsip keadilan ('adalah), pelajaran biologi dengan keagungan ciptaan (qudrah), dan pelajaran sejarah dengan pentingnya mengambil hikmah (i'tibar). Inilah tugas suci kita: bukan sekadar mengisi kepala, tapi menerangi kalbu.

"Bermartabat dalam Sikap": Kurikulum Terpenting Bernama Keteladanan

Jika ilmu adalah cahaya, maka sikap atau adab adalah wadahnya. Tanpa wadah yang kuat, cahaya itu akan tumpah sia-sia, atau lebih buruk, bisa membakar. Di sinilah letak kemuliaan dan sekaligus tantangan terberat kita. Kita hidup di zaman di mana anak-anak bisa belajar apa pun dari genggaman tangannya. Mereka bisa lebih cepat tahu berita dari kita. Tapi ada satu hal yang tidak akan pernah bisa diajarkan oleh Google maupun ChatGPT: martabat yang terpancar dari seorang guru yang tulus.

Refleksi kita, saat ada siswa yang sulit diatur, memancing emosi, apa yang pertama kali muncul dari diri kita? Makian atau istighfar? Ancaman atau rangkulan? Jawaban dari pertanyaan itulah kurikulum martabat yang sesungguhnya sedang kita ajarkan. Renungkanlah, bahwa anak-anak kita mungkin akan lupa rumus phytagoras yang kita ajarkan, tapi mereka akan ingat seumur hidup bagaimana perasaan mereka saat kita memaafkan kesalahan mereka dengan tulus. Mereka akan ingat bagaimana kita tetap tersenyum dan mengajar dengan semangat, meski kita tahu mereka tahu honor kita tak seberapa.

Martabat kita sebagai pendidik Ma'arif tidak diukur dari gelar akademis atau jabatan struktural. Martabat kita terukir dari: kesabaran kita yang tak bertepi., keikhlasan kita yang tersembunyi, kasih sayang kita yang tak membeda-bedakan, serta cara kita memuliakan ilmu dan para ulama di depan mereka. "Al-halu afshahu min al-lisan". Sikap dan keteladanan kita berbicara jauh lebih nyaring daripada ribuan kata yang keluar dari lisan kita.

Panggilan Jiwa Kita

Sahabatku, para pejuang Ma'arif,

Menjadi guru di Ma'arif bukanlah sebuah profesi. Ini adalah panggilan jiwa. Sebuah amanah yang sanadnya bersambung langsung kepada para pendiri Nahdlatul Ulama. Ini adalah cara kita berkhidmah, cara kita menanam amal jariyah yang pahalanya tak akan putus. Tantangan zaman akan selalu ada. Kurikulum akan terus berganti, teknologi akan semakin canggih. Namun, panggilan jiwa kita tetap sama: membentuk generasi yang otaknya cerdas karena ilmu, dan hatinya bercahaya karena adab.

Di Harlah ke-96 ini, mari kita perbarui niat kita. Mari kita masuk ke sekolah dan ruang kelas kita bukan sebagai pegawai yang bekerja, tapi sebagai hamba yang beribadah di mihrab pengabdiannya. Semoga setiap lelah kita dicatat sebagai lillah. Semoga setiap kesabaran kita menjadi pemberat timbangan amal. Dan semoga dari tangan-tangan kita yang mungkin tak terlihat oleh dunia, lahir generasi-generasi bermutu dan bermartabat yang akan menjaga agama, bangsa, dan negeri ini.

Selamat berjuang dalam sunyi, sahabatku. Surga merindukan orang-orang tulus seperti kita.

Wallahul muwaffiq ila aqwamit thariq.

Penulis: Mamik Rosita (Ketua LP Maarif NU Kabupaten Jombang

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun