Mohon tunggu...
Ronny Rachman Noor
Ronny Rachman Noor Mohon Tunggu... Lainnya - Geneticist

Pemerhati Pendidikan dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mendidik Itu Tidaklah Identik dengan Menghukum

21 Mei 2021   11:05 Diperbarui: 21 Mei 2021   20:13 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo: Kompas Regional

Dunia pendidikan kembali  dihebohkan dengan pemberhentian siswa oleh salah satu sekolah karena ulah siswa yang dianggap menghina Palestina dalam unggahan videonya.

Masalah ini memang cukup komplek, namun yang jelas para pendidik yang ada di sekolah tersebut harus sepenuhnya menyadari bahwa kejadian ini juga merupakan kegagalan sekolah tersebut dalam mendidik siswa nya sehingga ada siswa yang berprilaku dianggap "nyeleneh".

Sering kali insan pendidik di dunia pendidikan melupakan bahwa pendidikan itu bukanlah sesuatu yang prosesnya instan dalam mencapai keberhasilan.  Pendidikan merupakan suatu proses panjang sehingga ada istilah "pendidikan sepanjang hayat".

Dalam dunia yang serba modern saat ini pendidikan sudah tercemari oleh pandangan bahwa sekolah harus menghasilkan orang sukses, sehingga sangat sempit ruangnya bagi siswa yang memerlukan upaya dan perhatian khusus.

Fenomena seperti ini juga mengkontaminasi pandangan  orang tua siswa bahwa anak anak nya harus mendapatkan sekolah favorit sehingga mereka percaya bahwa di sekolah favorit inilah anak anak mereka akan dapat berprestasi.

Pergeseran fenomena bahwa sekolah itu merupakan tempat terjadinya  proses pendidikan yang membuat siswa tidak tau menjadi tau, membuat siswa  boboh jadi pintar, membuat siswa yang berprilaku kurang baik menjadi lebih baik  dan sebagainya  sudah hampir dilupakan.

Sangat ironis memang jika ada sekolah yang mengkhususkan diri mendidik siswa siswa yang pintar saja dan enggan untuk mendidik siswa yang memerlukan perhatian khusus dan memerlukan waktu agak lama dalam belajar dan berprilaku yang pantas.

Fenomana seperti ini memang sudah dilihat dan difahami  betul oleh begawan pendidikan nasional yang juga mantan rektor IPB alm Prof. Andi Hakim Nasoetion di era tahun 1980 an.

Pak Andi sangat paham betul bahwa terjadi disparitas kualitas pendidikan tanah air ini  sehingga perlu diadakan upaya khusus untuk memoles berlian yang belum mengkilat.

Mengapa Pak Andi mengerti betul terkait hal ini? Jawabannya sangat sederhana beliau adalah seorang begawan statistik yang mendalam juga ilmu genetik kuantitatif.  Sehingga beliau sangat faham bahwa prestasi seorang siswa itu merupakan produk dari faktor genetik dengan lingkungan dan juga interaksi antara kedua faktor tersebut.

Dalam bahasa sehari hari dapat saja siswa yang biasa biasa saja menjadi tampak pintar jika lingkungannya baik pendidikan maupun kemampuan ekonomi orangtuanya sangat menunjang pendidikannya.

Sebaliknya ada juga siswa yang secara genetik sangat pintar namun karena lingkungannya kurang menunjung baik sekolah, guru, sistem pengajaran dll nya tidak akan muncul ke permukaan.

Oleh sebab itu Pak Andi sangat antusias untuk mengamati dan memperhatikan siswa berprestasi di wilayah terpencil Indonesia dimana secara failitas pendidikan dan kualitas gurunya jauh jika dibandingkan dengan di wilayah perkotaan besar.

Disinilah letak kepiawaian Pak Andi  untuk menterjemahkan prestasi siswa, sehingga beliau berpikir bahwa diperlukan satu proses lagi yang sangat krusial untuk memoles siswa Indonesia yang dididik  oleh sekolah dengan mutu sekolah yang sangat bervariasi ini.

Pemikirian brilian Pak Andi ini akhirnya menghasilkan sistem penerimaan mahasiswa baru di Indonesia yang belum pernah ada sebelumnya, yaitu sistem seleksi tanpa tes namun berdasarkan nilai rapor yang berlaku di sekloahnya masing masing.

Siswa dinilai lebih pada prosesnya di lingkungan sekolahnya masing masing dan berdasarkan hasil perkembangan rapornya maka diputuskan siswa mana yang diundang masuk ke perguruan tinggi tanpa tes.

Pak Andi lebih tertarik pada siswa yang dalam prosesnya mengalami perbaikan nilai yang siknifikan dibandingkan dengan siswa yang prestasinya stabil. 

Dalam hal ini Pak Andi mengabaikan sementara faktor lingkungan dan lebih menekankan pada faktor genetik (baca kepintaran) yang dimiliki oleh siswa di lingkungannya.

Setelah dikumpulkan di IPB mereka diberi bekal yang sama yaitu kuliah satu tahun yang disebut dengan Tingkat Persiapan Bersama. 

Melalui sistem yang diciptakan Pak Andi ini setelah satu tahun berlian yang belum mengkilat yang bersal dari berbagai pelosok tanah air ini   mulai memancarkan cahaya kemilaunya dan dapat bersaing dengan rekan rekannya yang lulus dari sekolah favorit di kota kota besar.

Melalui sistem ini Pak Andi berhasil mengumpulkan tunas muda untuk dididik menjadi orang besar.

Pak Andi mengerti betul bahwa untuk mengasah berlian berlian tersebut diperlukan suatu proses yang cukup lama dan bukanlah merupakan proses yang instan.

Pendidikan  merupakan suatu proses, oleh sebab itu mendidik siswa yang pintar akan lebih mudah dibandingkan dengan siswa yang memerlukan perhatian khusus.  Keberhasilan hakiki dari pendidikan adalah keberhasilan para pendidik untuk mendidik orang yang kurang pintar menjadi pintar.

Artinya mendidik orang yang sudah pintar untuk mendapatkan nilai mata pelajaran maksimal 100 itu memang merupakan suatu keberhasilan, namun keberhasilan yang sebenarnya adalah jika siswa yang asal mulanya hanya mempu meraih ninilai di bawah nilai ratan siswa  mendapatkan nilai di atas rata rata walaupun belum  meraih angka maksimum 100,  merupakan keberhasilan yang sebenarnya.

Sangat keliru jika atas nama baik sekolah siswa yang nyeleneh baik dari segi nilai maupun prilaku disingkirkan dan kurang mendapat perhatian dari para pendidik di sekolahnya.

Justru sebaliknya sekolah dikatakan berhasil jika para pendidik di sekolah tersebut berhasil memperbaiki prilaku siswa yang nyeleneh ini.

Fakta yang menunjukkan bahwa banyak orang orang  besar ketika di sekolah tampak seperti siswa inferior karena memang  tidak cocok dengan sistem pendidikan yang dijalaninya, namun setelah mendapatkan lingkungan yang menunjang keinginan dan kepintarannya yang tersembunyi selama ini akan melejit dan menunjukkan prestasi yang sangat luar biasa.

Pergeresan fenomena bahwa sekolah itu kini cenderung menjadi tempat siswa siswa pintar saja untuk sekolah memang sangat memprihatinkan. 

Nilai nilai luhur  terkait hakekat pendidikan yang ditanamkan oleh Ki Hadjar Dewantara bahwa pendidikan menjadi tempat dan proses  belajar bagi orang Indonesia yang dianggap inferior oleh penjajah kolonial untuk menjadi lebih pintar kini telah luntur.

Sekolah tampaknya sudah ada yang kehilangan jati dirinya dan fungsinya sebagai tempat berlangsungnya pendidikan yang memerlukan proses panjang dengan tujuan utama untuk membuat siswa menjadi lebih baik dan lebih pintar.

Ketika sekolah membebankan segala kesalahannya pada siswa dan mengambil jalan pintas untuk memberhentikan siswa nya yang dianggap nyeleneh dan melupakan bahwa sebagian kesalahan tersebut justru ada disekolah tersebut  yang mencerminkan kegagalan mendidik, maka  sekolah tersebut sudah kehilangan jati diri dan fungsinya sebagai lembaga pendidikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun