Pada hari Rabu tanggal 31 Mei mendatang dunia kembali mencanangkan dan memperingati hari tanpa rokok sedunia atau yang dikenal sebagai World No Tobacco Day.
Di Indonesia tampaknya hari tanpa rokok dunia ini hampir tidak ada gaungnya sama sekali, padahal Indonesia tercatat sebagai salah satu negara yang paling banyak angka perokoknya dan salah satu negara yang terbesar angka pertumbuhan perokoknya terutama di kalangan usia muda.
Entah sudah berapa banyak peringatan akan bahaya rokok yang disebarkan dan dikampanyekan, namun tampaknya angka pertumbuhan perokok di Indonesia tetap saja meningkat. Umumnya para perokok hampir tidak menggubris peringatan akan bahaya merokok ini.
Badan kesehatan dunia WHO bersama mitranya yang mengkapanyekan hari tanpa rokok dunia ini tentu saja memiliki alasan yang sangat kuat terkait bahaya merokok dan dampaknya bagi kesehatan dan juga perekonomian suatu negara.
Tidak dapat dibantah lagi bahwa negara yang mampu mengendalikan dan mengurangi angka perokoknya akan dapat menjamin pembangunan masa depan negaranya yang berkelanjutan.
Disamping menyelamatkan nyawa dan menghemat pengeluaran biaya kesehatan yang ditimbulkan oleh rokok, negara yang berhasil melakukan kontrol terhadap rokok ini akan berdampak langsung pada keberhasilan pemutusan rantai kemiskinan, mengurangi terjadinya kelaparan, mendorong pertanian yang berkelanjutan serta meningkatkan pertumbuhan perekonomiannya.
Keberhasilan kampanye anti rokok memang tidak dapat hanya diandalkan pada upaya yang dilakukan oleh negara saja, namun juga sangat ditentukan oleh gerakan masyarakat. Peran individu untuk berhenti merokok dapat menjadi modal utama gerakan anti rokok ini.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa berhentinya seseorang merokok tidak hanya bermanfaat bagi orang tersebut namun juga bagi teman, kerabat, anggota keluarga dan anak anak yang terimbas asap rokok karena terekpos sebagai perokok pasif.
Perokok seringkali tidak menyadari betapa besarnya uang yang dihabiskan untuk meneruskan kebiasaan buruknya yang jika digunakan untuk membeli produk kesehatan, pendidikan dll jauh lebih bermanfaat bagi masa depan keluarganya.
Acaman yang sangat serius
Setiap tahunnya angka kematian dunia akibat merokok mencapai 7 juta orang dan angka ini diperkirakan akan terus meningkat sampai dengan tahun 2030 mencapai 8 juta orang.
Rokok dapat menjadi ancaman bagi siapa saja tidak memandang jenis kelamin, umur, ras, budaya, latar belakang pendidikan dll yang akan berujung pada penurunan kualitas kesehatan, penyakit dan kematian.
Di level negara rokok merupakan salah satu faktor dominan dalam peningkatan biaya kesehatan dan pengurangan produktivitas. Hal yang paling ironis adalah kelompok masyarakat miskin justru mengurangi pengeluarannya untuk makanan, pendidikan dan biaya keseahatannya dalam meneruskan kebiasaan merokoknya.
Data empiris menunjukan bahwa 80% dari angka kematian dini akibat merokok terjadi di kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah.
Budidaya tembakau juga berdampak buruk pada penurunan kualitas lingkungan karena memerlukan banyak pupuk dan pestisida yang berujung pada pencemaran lingkungan.
Menurut WHO setiap tahunnya budidaya tembakau menggunakan lahan seluas 4,3 juta hektar yang berakibat terjadinya penggudulan hutan dunia dengan kontribusi sebesar 2-4%. Pabrik tembakau juga menghasilkan limbah padat sebanyak 2 juta ton.
Saat ini pendapatan negara dari cukai rokok dan produk rokok lainnya memang memberikan kontribusi pada perekonomian nasional, namun pertanyaannya apakah dalam jangka panjang hal ini akan terus berlangsung?
Dalam jangka panjang Indonesia sebaiknya meninjau ulang kebijakan nasional terkait dengan industri tembakau dan rokok ini. Akankan kita terus mengorbankan masa depan kesehatan generasi penerus bangsa dan juga poduktivitas sumber daya manusia hanya untuk mendapatkan keuntungan sesaat?
Apakah filosifi “rokok menghidupi orang banyak” masih akan terus kita pertahankan? Mari kita renungkan besama.
Selamat memperingati hari tanpa tembakau dunia !