Mohon tunggu...
R. Elizabeth
R. Elizabeth Mohon Tunggu... Administrasi - Fans Hiburan Korea dan Jepang

Selama kita hidup, kita akan terus berpikir dan belajar. Dengan demikianlah kita menjadi manusia yang memanusiakan diri sendiri dan sesama kita.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Belajar dari Nyai Ontosoroh, Sang Perempuan Bermartabat

19 Februari 2016   14:59 Diperbarui: 19 Februari 2016   15:17 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sarkasme yang dilontarkan Nyai ini seolah ingin menunjukkan kalau manusia itu hampir-hampir mau melakukan apa saja yang mungkin merugikan buat orang lain, asal mereka diuntungkan. Dengan ini, ia telah menantang Eropa dengan caranya sendiri di saat dunia memuja mereka. Di halaman 102, Nyai melanjutkan, jangan koran, hukum juga bisa! Jangan terpesona pada nama-nama orang hebat. Nama-nama itu kosong, tapi Eropa bisa menguasai negara orang lain itu karena ilmunya.

Kita jadi sadar kalau yang berarti besar, sangat besar, di dunia ini, salah satunya adalah ilmu. Nyai bahkan menyuruh Minke belajar dari Khouw Ah Soe (hlm. 104). Belajar bisa dari mana dan siapa saja. Bukan lihat kasta orangnya. Nyai tidak merendahkan orang, tapi juga tidak mengagungkan Eropa seperti Minke.

Seperti yang kita tahu, Nyai adalah pemimpin de facto dari Borderij Buitenzorg. Di tengah kekacauan hidup, Nyai berwirausaha dengan baik. Ia bukanlah seorang kapitalis (hlm. 105). Ia memikirkan nasib perusahaan dan orang-orangnya. Baginya perusahaan bukanlah sapi perahan, melainkan seperti anak sendiri. Menurut saya, bagi Nyai perusahaan dibangun dan dirawat susah payah, bukan supaya jadi kaya dan serakah tapi juga bisa menyejahterakan orang lain.

Nyai juga, meski seorang perempuan, menyukai orang-orang berwawasan luas. Misalnya saat dia bertemu Khouw Ah Soe, yang negerinya tidak pernah dijajah tapi paham apa kolonial itu. Sangat tidak biasa, Nyai selalu berkembang melalui pembiacaraan bukan berkumpul untuk merumpi. Tapi kemudian, sifat pendendamnya muncul lagi ketika ia mendapat surat dari anak lakinya yang durhaka, Robert Mellema. Ia tidak sudi membacanya.

Pada saat itu, kondisi sedang suramnya sejak kepergian Annelies. Minke memutuskan untuk melanjutkan ke STOVIA, belajar kedokteran. Nyai terang-terangan minta Minke tetap tinggal. Tapi Minke sendiri sadarnya tidak bisa terus berada dekat Nyai yang eksistensinya seperti batu karang. Minke tidak bisa bertumbuh di bawah naungan Nyai terus. Akhirnya, sebelum Minke pergi Nyai minta ditemani pulang ke kampungnya.

Di Tulangan, daerah asalnya, sebenarnya Nyai dengan cerdik hendak menjodohkan Minke dengan anak kakaknya Jurutulis Sastro Kassier, Surati yang dulu dikenal cantik, supaya Minke tidak jadi pergi. Naas, ternyata wajah Surati rusak-rusak akibat penyakit cacar. Rupanya, Surati sempat “dijual” oleh bapaknya ke Tuan Besar Administratur juga!


Surati telah sengaja menjangkitkan cacar ke badannya dan menularkannya ke Tuan Besar itu agar mereka mati bersama. Karena pengobatan yang kurang pada masa itu, meski ia hidup dan Tuan Besar mati, wajahnya tidak tertolong.

Nyai mengamuk, marah besar. Di sinilah Minke melihat sisi tidak terpelajar dari Nyai. Nyai meski biasanya tenang-tenang saja, tapi seperti manusia biasa juga. Hal yang menarik adalah Nyai yang kokoh juga bisa dipengaruhi oleh lingkungan yang buruk dan mengikuti sikap-sikap jelek juga. Memang lingkungan sangat berpengaruh pada karakter dan tingkah laku seseorang.

Saat mereka sedang di Tulangan, mengingat pesan orang-orang yang memintanya menulis Melayu, Minke mulai mengobservasi kehidupan manusia sebangsanya. Dia menginap dan menulis banyak keluhan orang tertindas yang lahannya diambil untuk kemajuan gula.

Tapi artikelnya yang jujur itu ditolak. Nijman berpihak pada pabrik gula. Kommer, selaku teman Minke yang berprofesi sebagai penerjemah Belanda ke Melayu, membuka suara: memang surat kabar itu dikendalikan oleh pabrik. Kommer mengaku pernah diperintahkan Tuan Mellema, suami Nyai dan pemimpin terdahulu, untuk memata-matai camat Sidoarjo terkait perluasan tanah pabrik. Camat ini tidak mau serahkan tanahnya dan suatu hari ia terbunuh.

Nyai terkejut bukan main. Ia kira benar kata berita yang dulu didengarnya, camat itu ditanduk kerbau. Ternyata apa? Ternyata camat itu “dibunuh” oleh suaminya! Ternyata tanah-tanah yang ia usahakan adalah hasil pelanggaran azas yang ia kumandangkan, tanah curian dan bernoda darah. Nyai menangis karena merasa ditipu, ia mengira tangannya bersih tapi sebenarnya yang dia kelola adalah perusahaan kotor.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun