Memang benar dalam pasal 13 huruf (a), UU Penyandang Disabilitas, Â disebutkan bahwa Penyandang Disabilitas Mental dan Intelektual juga memiliki hak politik diantaranya memilih dan dipilih dalam jabatan publik, tetapi sungguh diluar akal pikiran yang sehat bahwa akan ada orang yang memilih Penyandang Disabilitas Mental dan Intelektual untuk menduduki jabatan Publik.Â
Untuk memilih seorang Pemimpin tentunya paling tidak pemilih perlu menganalisa secara sederhana, apakah calon pemimpin itu layak untuk memimpin? Orang dengan gangguan jiwa dan gangguan pikiran apakah bisa melakukannya?
Aturan ini harusnya segera di revisi, karena ODGJ sendiri diklasifikasikan dari yang ringan, sedang, hingga berat. Diagnosa yang dilakukan oleh Psikiater pun, bisa saja berbeda-beda.
Menurut Dr Tun Kurniasih Bastaman, Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran "Gangguan jiwa berat artinya penderita mengalami gangguan dalam fungsi sosial dengan orang lain, serta dalam hal fungsi kerja sehingga tidak produktif. Gejala dengan efek kuat misalnya delusi, halusinasi, paranoid, ketakutan berat, yang biasanya disebut gejala psikosis." Artinya ODGJ berat harus dirawat biasanya di Rumah Sakit untuk jangka waktu yang tak bisa ditentukan.
Dalam Hukum Pidana, orang yang tidak sempurna akal dan pikirannya sehingga tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya maka ia tak dapat di hukum sesuai ketentuan Undang-undang. Terhadap orang yang tak waras atau sakit akal (ODGJ) tersebut ada alasan pemaaf yaitu alasan yang menghapus kesalahan yang dilakukannya walaupun perbuatan yang dilakukannya melawan hukum.Â
Menurut R. Soesilo, orang sakit akal (ODGJ) karena 2 hal yaitu pertama sebab kurang sempurna akalnya seperti idiot, imbicil, cacat sejak lahir yang mengakibatkan akalnya seperti anak-anak. Kedua karena sakit maka berubah akalnya seperti sakit gila, epilepsi dan penyakit jiwa lainnya.
Artinya setiap perbuatan yang dilakukan oleh orang yang sakit akal atau tak waras (ODGJ) tersebut diatas, maka setiap hasil perbuatannya tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Kembali pada UU KPU dan UU Penyandang Disabilitas, maka sesungguhnya tidak tepat juga jika yang dimaksud Penyandang Disabilitas dalam UU KPU adalah persis sama dengan yang dimaksud dalam UU Penyandang Disabilitas.
Penyandang Disabiltas adalam UU KPU secara gamblang dan lugas pastinya dapat ditafsirkan hanya kepada Disabilitas Fisik saja seperti tuna netra, tuna rungu dan lainnya, tetapi tidak termasuk kepada Disabilitas Mental dan Intelektual. Â
Tidak ada aturan yang secara jelas mengatur mengenai pemilih Disabilitas Mental dan Intelektual (ODGJ) didalam UU KPU.Â
Dengan kata lain, ada kekosongan hukum atau ada hukum yang tidak jelas dalam UU KPU tersebut. Jika ada penafsiran Penyandang Disabilitas dalam UU KPU tersebut termasuk Disabilitas Mental dan Intelektual (OGDJ), maka tentu saja penafsiran itu terlalu memaksa dan cenderung akan terjadi kekeliruan dalam perbuatan hukum selanjutnya oleh KPU.