Mohon tunggu...
Rooy John
Rooy John Mohon Tunggu... Administrasi - Cuma Orang Biasa

God gave me a pair of wings Love and Knowledge With both, I would fly back home to Him

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Muara (1)

7 April 2022   00:01 Diperbarui: 7 April 2022   00:03 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Di sini akhir aliran sungai. Saat air tawar dan air laut bertemu. Di sini akhir masa. Saat yang lampau dan yang kemudian bertemu. Bercampur. Serasa payau. Setengah tawar, setengah asin. Meski begitu, keduanya berbeda. Berbeda lingkungan. Berbeda pohon. Berbeda hewan. Tak ada yang perlu disesali.


Bu Sri memandang jauh ke depan. Televisi yang menyala bukan fokus tatapannya. Ia tidak mengetahui apa yang ditayangkan televisi. Matanya berkunang-kunang.

Guru Bisma duduk di samping istrinya dan memandang heran. "Bu, ada apa?"

Bu Sri membalas tatapan suaminya. Tidak sepatah kata pun diucapkannya. Ia kembali menatap ke arah ke dinding tempat di mana televisi kecil keluarga sederhana itu duduk di atas lemari buku sang suami.

"Ada berita yang membuat ibu resah?," Guru Bisma mencoba memperjelas masalah.

Bu Sri kembali menatap suaminya. Masih dalam ekspresi yang sama. Lalu kembali mengarahkan pandangnya ke arah dinding.

"Ada apa to, Bu? Kalau ada sesuatu yang meresahkan, ya dikatakan saja. Siapa tahu dengan mengatakannya akan membuat ibu lega. Aku belum tentu bisa memecahkan masalahnya. Tetapi bisa jadi pendengar. Siapa tahu aku bisa urun rembug," Guru Bisma berdiri sambil berjalan ke arah lemari buku dimana televisi keluarga diletakan. Tombol mati-hidup televisi ditekannya. Sekarang tidak ada lagi suara ataupun gambar dari televisi. Tetapi istrinya masih saja memandang ke dinding di latar televisi.

Guru Bisma kembali ke tempatnya semula. Ke kursi meja makan. Ia duduk lebih dekat di samping istrinya. 

Bu Sri kembali menatap suaminya. Sekarang ia menggeser tubuhnya sehinga berhadapan dengan Guru Bisma. Matanya berkaca-kaca. "Muara. Muara," suara Bu Sri lirih.

"Muara apa, Bu? Muara sungai? Sungai yang mana?," Guru Bisma bertanya.

"Muara, Pak. Kita ada di muara," air mata perlahan menetes di pipi Bu Sri.

Guru Bisma kebingungan. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan juga apa yang harus ia katakan. Sejurus ia diam mematung. Ditatapnya wajah istrinya. Ada rasa iba dan sayang bercampur dalam hatinya.

Tidak semua hal dalam hidup berjalan sesuai kehendak kita. Terkadang hidup menentukan jalannya sendiri. Seperti yang juga dialami keluarga Guru Bisma. Ketiga anak mereka sudah dewasa. Dua anak berkeluarga dan seorang lagi bekerja di lain kota. Putra sulung mereka menikah dengan perempuan pilihan hatinya dan kemudian pindah menetap di rumah keluarga istrinya di negeri manca. Putri mereka menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya, lalu tinggal bersama suaminya di kota tempat putrinya bekerja. Putra bungsu mereka memilih hidup mandiri jauh dari rumah. Ia mengambil pekerjaan sebagai konsultan IT pada kantor pemerintah di tempat dari mana ibunya berasal.

Meski terpisah oleh jarak, komunikasi Guru Bisma dan istrinya dengan anak-anak mereka cukup baik. Paling tidak sekali seminggu, anak-anak mereka menelpon sekadar menanyakan kabar berita dan berbagi cerita. Namun sejak setengah tahun ini, putra sulung mereka tidak pernah menelpon kedua orang tuanya. Ada situasi yang merenggangkan hubungan mereka. Persoalannya bermula dari hal sederhana. Hal memberi nama untuk anak kedua sang putra sulung. 

Dalam pandangan Bu Sri, nama anak selayaknya diberikan oleh ayahnya. Seorang ayah wajib membubuhkan sebagian nama keluarganya agar tali keturunan tidak terputus. Anak -anak akan mengenali keluarga mereka dari namanya. Tetapi berbeda pandangan sang putra sulung. Nama tidak harus merujuk pada ikatan keluarga. Karena itu, ia menerima nama pemberian istrinya untuk anak keduanya. Perselisihan tidak terjadi pada mulanya. Tetapi sebulan setelah itu, saat foto sang cucu dimuat di instagram ayahnya, meledaklah kegusaran Bu Sri. Ia baru menyadari bahwa putra sulungnya benar-benar mengabaikan sarannya. Saran ibu kandungnya sendiri.

Hubungan keluarga kemudian menjadi dingin. Komunikasi terputus sama sekali. Apa yang semestinya menjadi momen kebahagiaan berubah menjadi titik keretakan.

"Bu.....muara apa?,"Guru Bisma menatap istrinya.

Bu Sri mengusap air matanya dengan jari telunjuk. " Ini mimpi yang ketiga kali, Pak. Kita berada di muara. Ujung hari kita, adalah awal hari mereka."

Guru Bisma diam. Ia memberi kesempatan istinya menyelesaikan ceritanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun