Sebaliknya, jika gagal, maka modernisasi semata mata bermakna industrialisasi, menjadi masyarakat industi, menggunakan barang industri dan seterusnya.
Persoalan kedua adalah pendekatan modernisasi. Ada tiga bagian inti pendekatan modernisasi.
Pertama, pendekatan idiologi. Idiologi yang dibawa modernisasi adalah civilisasi atau peradaban. Menerima modernisasi berarti hidup lebih beradab.Â
Pada kenyataannya, modernisasi dan peradaban ibarat pasangan kawin paksa. Semakin modern sebuah masyarakat, semakin nilai-nilai keadaban hilang.Â
Datanglah ke lingkungan masyarakat Tengger atau Badui dan lihatlah. Apakah kita yang hidup penuh gadget ini lebih beradab dari mereka?Â
Jika keberadaban mengacu pada angka kriminalitas, maka jawabnya, kita jauh lebih tidak beradab. Selama puluhan tahun angka kriminalitas di lingkungan masyarakat itu hampir hampir nol.
Kedua, pendekatan empiris. Modernisasi mensyaratkan perubahan social. Perubahan social itu mencakup ketercukupan kondisi bagi hadirnya modernisasi.Â
Faktanya, ketercukupan kondisi dimaksud berbeda level dan karakternya. Ada lingkungan masyarakat yang baru berada pada level mempelajari perubahan, ada lingkungan yang karakter masyarakatnya sudah adaptif terhadap modernisasi.Â
Sayangnya, pada level dan karakter manapun masyarakat berubah, tradisi dan nilai asali selalu berada pada ancaman kepunahan. Inti masalahnya kembali pada persoalan definisi. Selalu harus seperti Barat dan seperti Amerika. Orang menyebutnya "paket modernisasi".
Krisis ini berpangkal pada asumsi bahwa masyarakat barat dan, atau Amerika adalah role model dari kebaikan. Para ahli ilmu social di Barat seperti Durkheim sudah memperingatkan bahaya ini.Â
Nilai tradisi, juga agama, tetap memiliki peran utama dalam lingkungan masyarakat modern. Modernisasi bukan lawan dari tradisionalisasi.