Nilai-nilai seperti inilah yang sebenarnya menjadi inti pendidikan. Musik berperan menanamkan makna, sementara sains memberi pemahaman rasional. Keduanya saling melengkapi.
Mengembangkan Kreativitas Guru dan Siswa
Menulis lagu pembelajaran bukan hal yang sulit jika guru berani mencoba. Guru bisa memodifikasi lagu anak-anak yang sudah dikenal dengan lirik bertema sains, atau membuat lagu sederhana dengan tiga akor dasar seperti C--F--G.
Kegiatan ini juga bisa dikembangkan menjadi proyek kelas. Misalnya, kelompok siswa membuat lagu baru tentang proses penyerbukan bunga atau siklus air. Guru hanya perlu membimbing struktur lirik dan melodi agar tetap mudah diikuti.
Dalam pengalaman saya, saat anak-anak diberi kebebasan menulis bait tambahan sendiri, mereka menjadi sangat antusias. Ada yang menulis tentang daun yang "menari dengan angin", ada pula yang menulis tentang buah yang "matang oleh cinta matahari." Bahasa mereka mungkin sederhana, tapi maknanya penuh imajinasi dan rasa ingin tahu.
Inilah bukti bahwa musik mampu menggerakkan kreativitas anak sekaligus menguatkan literasi sains.
Musik Sebagai Media Terapi dan Motivasi
Bagi sebagian anak, belajar IPA bisa terasa menakutkan karena banyak istilah ilmiah. Lagu dapat menjadi terapi belajar yang membuat suasana kelas lebih santai. Ketika anak-anak bernyanyi, tubuh mereka bergerak, emosi tersalurkan, dan otak bekerja lebih aktif.
Ritme dan melodi juga menstimulasi koordinasi, memori, dan kemampuan bahasa.
Selain itu, musik membantu menciptakan suasana hati positif dalam belajar. Guru tidak perlu memaksa anak menghafal panjang lebar tentang fotosintesis, karena lagu sudah membantu menanamkan konsep itu secara alami. Di sinilah letak kekuatan pendekatan musikal dalam pendidikan dasar.
Tantangan di Lapangan
Tentu saja, penerapan pembelajaran berbasis musik tidak selalu mudah. Tidak semua sekolah memiliki guru musik atau alat musik lengkap. Waktu belajar yang terbatas juga menjadi kendala.
Namun, sebenarnya kreativitas tidak selalu memerlukan fasilitas mahal. Guru dapat memanfaatkan alat musik sederhana seperti botol bekas, tepukan tangan, atau bahkan suara alam sebagai irama pengiring.
Yang terpenting adalah semangat guru untuk menghadirkan suasana belajar yang bermakna. Dalam Kurikulum Merdeka, guru justru diberi kebebasan untuk bereksperimen sesuai konteks sekolah masing-masing.