Mohon tunggu...
Ronald Wan
Ronald Wan Mohon Tunggu... Freelancer - Pemerhati Ekonomi dan Teknologi

Love to Read | Try to Write | Twitter: @ronaldwan88

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Bagaimana Bersikap terhadap Utang

30 Juli 2017   09:57 Diperbarui: 31 Juli 2017   20:19 1090
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (kompas.com)

Dalam kehidupan, mungkin tidak ada orang yang tidak pernah berutang. Baik yang karena terpaksa maupun dengan sadar memutuskan untuk berutang. Suatu realita kehidupan.

Utang bisa dilakukan dengan meminjam uang secara tunai, membeli barang ataupun meminta pihak ketiga untuk melakukan pembayaran terhadap pembelian kita seperti kredit rumah. Secara etis, merupakan suatu kewajiban untuk membayar utang yang kita miliki. Namun ada juga yang mungkin setengah merampok, berutang tanpa niat untuk membayarnya.

Dasar dari pengelolaan keuangan yang sehat adalah disiplin. Maksimal penghasilan yang boleh dialokasikan ke pembayaran utang adalah 30%. Lebih dari itu keuangan kita akan mengalami masalah. Gali lobang tutup lobang untuk membayar utang.

Utang konsumtif, boleh dilakukan selama memang terpaksa. Misalnya susu anak habis sedangkan keuangan sedang tidak baik. Silahkan menggunakan kartu kredit misalnya untuk membeli susu anak, tetapi jangan lupa untuk memasukkan pembayaran utang ini ke dalam anggaran bulan berikutnya. Jika tidak terpaksa, misalnya utang untuk makan di resto kekinian sedangkan penghasilan bulan depan tidak mencukupi untuk membayar utang ini, sangat tidak dianjurkan. Karena jika sudah terbiasa dan penghasilan tidak mencukupi untuk membiayai gaya hidup, kita akan terlilit oleh utang. Bagaikan ular Anaconda yang melilit tubuh kita sampai kita tidak bernapas.

Utang produktif sangat dianjurkan namun tentunya tetap harus dengan perhitungan yang matang dan kehati-hatian. Misalnya untuk membeli rumah, daripada membayar kontrakan tapi tidak ada hasilnya lebih baik membeli rumah. Tabungan tidak akan sanggup untuk mengejar perkembangan harga rumah, kecuali penghasilannya sangat besar. Nilai rumah juga akan terus meningkat dan menurut pendapat saya bisa dibilang sebagai bagian dari investasi. Sudah tua misalnya rumah bisa dijual dan pindah ke rumah yang lebih kecil,  uang lebihnya bisa digunakan untuk usaha atau biaya hidup.

Dalam usaha atau bisnis juga sangat boleh berutang. Cara yang ekstrim misalnya menggunakan Kredit Tanpa Agunan (KTA), jika memang kontrak pembelian sudah ditangan dan keuntungan melebihi bunga KTA kenapa tidak. Apalagi jika order tersebut akan menjadi order yang rutin.

Namun dalan berusaha jangan pinjam uang demi gengsi. Sebagai contoh, buka usaha rumah makan dan melihat tetangga sebelah mendekor dengan bagus dan mewah. Harus bertanya, apakah dekor mewah bisa meningkatkan penjualan? Berapa besar peningkatannya?  Jika cukup dekor sederhana dan makanan yang enak sudah cukup ramai, untuk apa dekor yang mewah. Terkadang dekor yang mewah malah membuat orang takut untuk mampir.

Utang karena gengsi sangat berbahaya, butuh kendaraan namun karena gengsi malah membeli mobil BMW padahal Avanza saja cukup. Jika terjadi apa-apa dengan kita bukannya akan memberatkan orang yang ditinggalkan. Nilai kendaraan akan selalu turun kecuali yang eksotis. Oleh sebab itu kendaraan saya tidak kategorikan sebagai investasi.

Dalam pengelolaan negara, utang juga sangat lazim digunakan untuk pembiayaan. Jika utang tersebut digunakan untuk hal yang produktif, seperti membangun infrastruktur dan utang tersebut tidak dikorupsi seharusnya tidak masalah. Infrastruktur yang baik akan meningkatkan minat investasi. Investasi ke sektor riil berarti akan ada potensi pajak yang merupakan sumber penerimaan negara.

Indonesia memang cukup besar utangnya. Tahun 2018 dan 2019 beberapa utang jatuh tempo alias harus dibayar, namun utang yang harus dibayar ini bukan utang yang diambil oleh pemerintahan Jokowi. Melainkan utang pemerintahan sebelumnya, yang banyak digunakan untuk subsidi yang tidak tepat sasaran. Seperti BBM yang banyak dinikmati pengguna mobil, mampu membeli mobil senilai Rp 100 juta saya pikir tidak perlu disubsidi.

Selain itu secara tidak langsung, potensi kerugian dalam kasus korupsi e-KTP yang senilai 2,3 Triliun rupiah juga berasal dari utang karena dana tersebut bersumber dari APBN yang sebagian dibiayai oleh utang. Kehati-hatian dalam pengambilan utang juga perlu dicermati oleh pemerintah sekarang. Selain itu Ditjen pajak juga harus mampu menggunakan beberapa senjata baru seperti pembukaan data rekening senilai 1 Milyar Rupiah dan AeOI untuk meningkatkan rasio pajak yang baru mencapai 10-11%. Juga harus dipikirkan bagaimana cara menarik pajak dari orang kaya yang belum taat. Berita yang menyebutkan bahwa ada orang yang masuk daftar 10 besar terkaya di Indonesia tidak punya NPWP, mengusik rasa keadilan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun