Antara Motivasi dan Kontroversi
Meski lazim, bonus dan tantiem bukan tanpa kontroversi. Kasus-kasus di Amerika pernah mencatat bagaimana CEO perusahaan yang merugi tetap menerima bonus jutaan dolar. Hal ini memicu perdebatan publik: apakah adil eksekutif menerima insentif besar ketika ribuan karyawan justru terkena pemutusan hubungan kerja?
Namun, justru karena kontroversi inilah, transparansi semakin diperkuat. Securities and Exchange Commission (SEC) di AS, misalnya, mewajibkan perusahaan publik mengungkapkan detail kompensasi eksekutif dalam laporan tahunan. Di Eropa, EU Shareholders Rights Directive juga memperketat aturan agar kompensasi manajemen sejalan dengan kepentingan jangka panjang pemegang saham.
Indonesia dalam Pusaran Praktik Global
Di tanah air, pembagian bonus dan tantiem juga sudah menjadi praktik mapan. Bank-bank besar, BUMN, hingga perusahaan swasta multinasional yang beroperasi di Indonesia, semua punya skema ini.
Ambil contoh sektor perbankan. Laporan keuangan beberapa bank BUMN secara terbuka mencantumkan alokasi miliaran rupiah untuk tantiem direksi dan komisaris, di luar gaji pokok dan tunjangan. Meski sempat menuai kritik publik, argumen yang sering diajukan adalah: "Tanpa insentif, sulit mempertahankan profesionalisme di level global."
Sementara di perusahaan swasta multinasional, bonus tahunan sudah menjadi standar. Perusahaan-perusahaan teknologi, farmasi, maupun konsultan manajemen di Jakarta memberikan bonus tahunan antara 1--4 bulan gaji, tergantung kinerja perusahaan.
Fungsi Strategis Bonus dan Tantiem
- Motivasi Internal Insentif memicu karyawan untuk bekerja lebih keras dan kreatif.
- Retensi Talenta Dalam pasar global, bonus dan tantiem adalah senjata untuk mempertahankan SDM unggul agar tidak berpindah ke kompetitor.
- Keseimbangan Kepentingan Tantiem menghubungkan kepentingan pemegang saham (yang ingin profit) dengan direksi (yang mengelola perusahaan).
- Citra Perusahaan Transparansi dalam pembagian bonus dan tantiem meningkatkan reputasi perusahaan di mata investor dan publik.
Menatap Masa Depan
Di era ESG (Environmental, Social, Governance), bonus dan tantiem tidak lagi hanya dihitung dari profit finansial. Banyak perusahaan multinasional kini menambahkan indikator keberlanjutan: emisi karbon, kepatuhan etika, hingga kontribusi sosial. Artinya, insentif di masa depan akan semakin mencerminkan tanggung jawab sosial perusahaan.
Bisa jadi, suatu hari nanti seorang CEO tidak hanya dinilai dari laba bersih yang dicetak, tapi juga dari seberapa besar ia menekan polusi, menciptakan lapangan kerja layak, dan menghormati hak-hak buruh.