Mohon tunggu...
Filsafat Pilihan

Seperti Apa Sistem Pemerintahan Gereja yang Baik?

16 Mei 2018   15:25 Diperbarui: 16 Mei 2018   23:40 9580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendahuluan :

Didalam Ekklesiologi, terdapat beberapa pertanyaan strategis, bagaimanakah sebaiknya pengaturan sistem pemerintahan gereja pada zaman sekarang ini  ? Perlukah gereja memiliki Gembala yang memimpin jemaat ? Kalau perlu bagaimanakah cara  pengaturan batasan otoritasnya? Berbagai pertanyaan diatas adalah sebagian pertanyaan-pertanyaan penting didalam Penataan Gereja karena kekurang tepatan pengaturan termasuk sistem dan batasan wewenangnya akan menghambat  pelayanan gereja didalam dunia.

Salah satu jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah pentingnya peranan Sistem Pemerintahan Gereja. Sebagaimana dimaklumi didalam sepanjang sejarah gereja, secara sederhananya, dikenal tiga model Sistem Pemerintahan Utama gereja yaitu : 1. Episkopal,  2. Presbyterian,  3. Kongregasi.

1. Model Episkopal

Model Episkopal ini disebut  juga dengan model hierarkis.  Dari namanya, sebutan nama model ini berasal dari kata  Yunani "episkopos", yang artinya adalah "pengawas" (Uskup). Istilah Uskup ini memiliki arti dan fungsi yang sama dengan kata "Bishop".  Dalam model ini, para pejabat gereja pengawas (uskup) memiliki keuskupan, dan memiliki wewenang memutuskan siapa yang akan menjadi Pemimpin tertinggi gereja,  yang menganut Sistem Episkopal. 

Contoh gereja yang menganut sistem Pemerintahan seperti ini antara lain, Gereja Katolik Roma (Paus) atau Gereja Ortodoks (Metropolitan)  yang memerintah atau membawahi para uskup dari berbagai keuskupan.  Selain Gereja Roma Katholik dan Gereja Ortodoks, di banyak Negara, model Episkopal ini diterapkan pula oleh gereja-gereja Episkopal, Anglikan, Katolik, Ortodoks, dan Methodis. Adapun bentuk  yang paling sederhana dari pemerintahan episkopal dipakai oleh gereja-gereja Methodist sedangkan penggunaan sistem Pemerintahan gereja episkopal yang masih terus berkembang,  terdapat didalam gereja Anglikan (Inggris), gereja Anglikan di USA dan di gereja Katolik Roma yang struktur organisasinya memiliki sistem hierarki yang paling lengkap.

a. Dasar Alkitab

Meskipun banyak argumentasi yang berusaha menjelaskan  bahwa sistem Pemerintahan gereja episkopal ini  sudah ada sejak zaman gereja mula-mula di Yerusalem, namun tidak ada penyebutannya secara eksplisit didalam Alkitab Perjanjian Baru. Namun demikian, para pendukung pandangan ini bertahan bahwa secara eksplisit sistem itu tidak pernah juga dilarang didalam Perjanjian Baru.  

Wewenang didalam Kepemimpinan episkopal didasarkan pada otoritas kerasulan - dimana para rasul memiliki otoritas untuk memerintahkan gereja-gereja lokal melaksanakan apa yang harus dilakukan. Misalnya, rasul Paulus memerintahkan gereja Korintus untuk mengeluarkan dari gereja Korintus,  seorang anggotanya karena jatuh didalam dosa dan tidak mau bertobat (1 Kor. 5: 3-5). 

Dia menulis, "Demi nama Tuhan aku minta dengan sangat kepadamu, supaya surat ini dibacakan kepada semua saudara". (1 Tes. 5:27),  dan "Hal-hal yang aku katakana  kepadamu adalah Perintah Tuhan" (1Korintus 14:37). Perhatikan bahwa Paulus merasa bahwa dia memiliki otoritas komando, dan dia tidak merasa bahwa dia perlu mengumpulkan suara mayoritas untuk membuat keputusan ini.

b. Kelebihan Model Episkopal

Model Episkopal memiliki kelebihan karena sistem ini dapat memiliki tingkat kendali yang kuat terhadap pengajaran yang salah. Hal ini  juga dapat mempercepat pengambilan keputusan di gereja karena kepemimpinan dapat mengambil keputusan, daripada meminta  satu kelompok Penatua lokal melaksanakannya.

c. Kelemahannya

Namun demikian banyak juga kelemahan daripada model ini:

Pertama, karena adanya konsentrasi kekuasaan, maka fungsi bentuk hierarkis dari pemerintahan gereja sangat bergantung pada kualitas sang pemimpin. Gereja-gereja yang menganut model ini, memang dapat  dapat dituntun kepada  tingkat spiritual yang lebih tinggi bila mereka meiliki Pemimpin Rohani yang tepat. Namun sebaliknya  para Pemimpin dan jemaat dapat lebih mudah dirusak jika Kerohanian Pemimpinnya buruk.

Kedua, model ini tidak memiliki akuntabilitas di bagian atas rantai komando, misalnya siapa yang mengawasi para Pemimpin tersebut (Uskup).

Ketiga, sistem ini mempertajam berkembangnya jurang perbedaan kaum awam dengan para pendeta dimana  orang-orang di gereja-gereja lokal tidak dapat membuat keputusan besar tentang pelayanan tanpa persetujuan kepemimpinan atau arahan dari atas.

Keempat, padahal didalam gereja Perjanjian Baru, pada dasarnya tidak ada yang namanya Uskup yang memerintah para penatua gereja. Sebaliknya, para Penatua dan Uskup adalah sejajar. Misalnya, Lukas menulis bahwa Paulus memanggil bersama "para tua-tua jemaat" (Kis. 20:17), tetapi kemudian, Rasul Paulus mengatakan bahwa Allah telah membuat orang-orang yang sama ini "penilik untuk menggembalakan jemaat Allah" (Kisah 20:28). 

Demikian juga, Rasul Paulus menginginkan adanya "para Penatua di setiap kota" (Titus 1: 5), dan kemudian dia juga memerintahkan  agar "seorang penilik jemaat haruslah orang yang tidak bercacat" (Titus 1: 7). Hanya saja Istilah-istilah Penatua dan Uskup (penilik jemaat) digunakan secara bergantian.

Kelima, tidak ada kesinambungan para rasul yang menumpangkan tangan pada para uskup dari gereja abad kedua. Para anggota gereja di Antiokhia berjabat tangan dengan Paulus dan Barnabas, bukan para rasul (Kis. 14: 3). Demikian juga, Timotius tidak diakui oleh para rasul, tetapi oleh sekelompok penatua (1 Tim. 4:14).

2. Model Presbiterian

Kata Presbiterian berasal dari bahasa Yunani presbuteros, yang berarti "Penatua." Pemerintahan gereja menurut sistem presbiterian juga disebut sistem reformed, karena berakar kepada ajaran John Calvin yang mengacu pada Efesus 4: 11, yang mengaplikasikan peran para "gembala (the pastor), guru (the doctor), diaken (the deacon) dan penatua (the presbyter atau the elder)" dalam pelayanan gereja. 

Dalam sistem ini, para anggota gereja lah yang memilih para penatua menjadi "Majelis" atau dewan penatua.  Pendeta di gereja akan menjadi salah satu penatua, yang wewenangnya setara dengan  para penatua lainnya. 

Para penatua menjalankan gereja lokal mereka, dengan beberapa anggota presbiteri yang mengatur gereja. Artinya, presbiteri adalah sekelompok penatua yang memerintah yang membuat keputusan untuk semua gereja yang ada.  

Sekarang ini beberapa gereja yang  dikenal banyak menggunakan sistem ini antara lain adalah gereja-gereja Presbiterian dan Reformed. Beberapa gereja di Indonesia yang menggunakan sistem ini misalnya GPIB, GPI, GKI, GBKP dan umumnya gereja-gereja yang dari akar NZG.

a. Dasar Alkitab

Apa dasar alkitabiah mereka yang menerapkan sistem ini ?  Para pendukung pandangan ini menunjuk pada Kisah 6: 2-6, yang menyatakan, bahwa Kedua belas murid memanggil para pengikut mereka dan berkata, "Kami tidak merasa puas karena melayani meja,  maka kami mengabaikan firman." Karena itu, saudara-saudara, pilihlah tujuh orang dari antaramu, yang terkenal baik, dan yang penuh Roh dan hikmat, supaya kami mengangkat mereka untuk tugas itu, supaya kami sendiri dapat memusatkan pikiran dalam doa dan pelayanan Firman."(Kisah 6: 3-4). 

Pernyataan  itu memperoleh persetujuan dari seluruh sidang:  dan mereka memilih Stefanus, seorang yang penuh iman dan Roh Kudus, dan Filipus, Prokhorus, Nikanor, Timon, Parmenas dan Nikolas, seorang proselit dari Antiokhia.

Dari sini, tampaklah bawa dewan majelis lah yang memiliki wewenang  dan bukannya para rasul yang memilih orang-orang ini untuk memimpin di gereja lokal. Juga dalam hal disiplin  gereja, di dalam 2 Korintus 2: 6, tampak bahwa, hukum ditentukan oleh suara mayoritas.  Para pendukung pandangan Sistem Prebiterian ini mengemukakan bahwa dengan menguasai  sistem pemerintahan gereja yang menyeluruh, maka gereja akan dapat mendukung kesatuan Tubuh Kristus,  sebagaimana diajarkan oleh Tuhan Yesus sendiri (Yohanes 17: 21-23) sehingga dapat membantu  masing-masing gereja terhindar dari kesalahan doktrinal atau tersesat.

Terkait Pemimpin atau gembala jemaat, menurut Reformator, Calvin, ada kesamaanan tugas antara jabatan rasul dengan gembala. Tugas yang dilakukan para rasul pada zamannya adalah tugas yang sekarang dikerjakan oleh para gembala, perbedaannya terletak pada cakupan. Para rasul bertanggung jawab atas penggembalaan gereja di seluruh dunia sedangkan gembala bertugas hanya pada satu kawanan domba yang dipercayakan kepadanya. 

Tetapi gembala yang bertugas ditetapkan untuk bertugas dalam gereja mereka masing-masing tersebut tetap bisa membantu gereja yang lain, jika ada masalah penting yang membutuhkan kehadirannya. Oleh sebab itu, Calvin mengatakan bahwa perlu adanya aturan untuk setiap gembala jemaat yang terikat dan bertanggung penuh atas domba yang dipercayakan kepadanya namun tetap bisa membantu gereja lain tanpa ikatan.

b. Kelebihan Sistem Presbiterian

Tampaknya Sistem Presbiterian lebih memiliki efetivitas pertanggungjawaban daripada model hierarki, sehingga lebih dapat menghindari menajamnya perbedaan pendeta dengan awam. Dalam sistem Presbiterian ini, orang awam dilibatkan dalam keputusan penting dalam pelayanan. Dengan dilibatkannya para penatua dan pengerja yang berasal dari awam kerap banyak membantu pemikiran dan pengambilan keputusan penting didalam gereja.

c. Kelemahan Sistem Presbiterian

Ada pula beberapa kelemahan didalam sistem ini antara lain :

Pertama, jemaat gereja tentu terdiri dari berbagai latar belakang profesi sehingga bisa terjadi kaum awam yang terpilih menjadi pekerja atau penatua adalah seorang buruh, pengusaha atau politikus atau  berbagai posisi lain dan ternama dimasyarakat. Artinya mereka terpilih bukan didasarkan atas karakter atau pelayanan mereka yang baik tetapi karena ada sesuatu dibalik posisi mereka di masyarakat. Keadan seperti ini kerap terjadi sehingga pikiran kedagingan berkembang cepat di gereja, hal ini bisa merusak pelayanan yang baik.

Kedua, ketika para rasul memerintah atas gereja-gereja pada abad pertama, Alkitab Perjanjian Baru tidak pernah memberikan contoh adanya penatua (anggota presbiter) yang memerintah atas gereja-gereja lain, tetapi hanya terhadap gereja mereka sendiri.

Ketiga, kesatuan bukan berasal dari organisasi, tetapi dari individu yang terkait satu sama lain. Tuhan Yesus, dalam doanya untuk kesatuan gereja, berdoa untuk kesatuan relasional, bukan kesatuan organisasi.

3. Model Kongregasi

Konggregasi berasal dari kata berbahasa Latin. Yang berarti pertemuan bersama-sama atau rutin.  Pemakaian istilah ini digunakan oleh persekutuan orang Kristen di Skotlandia saat mereka memisahkan diri dari gereja Anglikan, Inggris.  Dalam sistem kongregasi, setiap gereja individu memiliki pemerintahannya sendiri, tanpa pemerintahan gereja lokal ataupun gereja lain yang mengendalikannya. 

Jemaat mengurusi gereja Konggregasi ini melalui hak suara dimana setiap anggota jemaat setempat memiliki suara dalam menentukan perwakilan jemaat yang ditunjuk untuk menjalankan wewenang terkait segala urusan pelayanan gereja.  Untuk itu, dibentuklah Panitianya. Namun demikian, keputusan-keputusan Tim yang dipilih jemaat ini dapat ditolak oleh Jemaat apabila mereka tidak menjalankan otoritas mereka secara independen atau bertentangan dengan keinginan seluruh jemaat. 

Rapat Jemaat melakukan rapat secra teratur misalnya rapat tahunan untuk melakukan perubahan atau penyesuaian  Kepanitian, aturan dan ketentuan, Kepanitiaan termasuk anggaran. Selain itu, Kongregasi juga  dapat mendelegasikan kekuasaan membuat keputusan kepada pendeta dan staff tentang beberapa masalah, tetapi jemaat memiliki otoritas final.  

Adapun, gereja-gereja yang sampai sekarang menerapkan sistem Pmerintahan seperti ini antara lain : gereja-gereja Baptis, gereja-gereja Pantekosta, Betel dan banyak gereja-gereja independen seperti gereja-gereka kharismatik yang besar sekarang ini.

a. Dasar Alkitabiah

Adapun ayat-ayat yang dipakai dalam mendukung sistem ini adalah sama dengan ayat-ayat yang dipakai oleh para pendukung model Presbiterian, menunjuk pada  Kisah 6: 2-6 yang menyatakan, penunjukan beberapa penatua jemaat yang terkenal baik, penuh Roh dan hikmat untuk melaksanakan tugas pelayanan dan pengambilan keputusan didasarkan pada suara mayoritas (2 Korintus 2: 6).

Menurut para pendukung model ini, rasul Paulus juga mengajarkan bahwa Tubuh Kristus tidak bergantung pada satu orang, tetapi banyak. "Tetapi sekarang ada banyak anggota, tetapi satu tubuh" (1 Korintus 12:20). Selain itu Alkitab juga menyebutkan secara tidak langsung bahwa, hendaknya gereja juga tidak boleh memerintah dengan tangan besi, dan setiap orang yang hendak memimpin, haruslah dia menjadi hamba sesamanya (Markus 10: 42-45).  

Terkait dengan pelaksanaan disiplin gereja dan keputusan-keputusan penting didalam jemaat, menurut para pendukung model  Konggregasi ini,  baik Tuhan Yesus maupun para Rasul memerintahkannya agar dilakukan diputuskan diantara saudara-saudara atau jemaat.

b. Kelebihan Sistem Konggregasi

Dalam zaman sekarang yang sangat menjunjung tinggi demokrasi di alam  kebebasan  ini, banyak orang menginginkan  sistem demokrasi juga dianut dan diterapkan didalam gereja sehingga Kepemimpinan gereja juga harus dapat dipertanggungjawabkan kepada jemaat. Tentu saja hal ini tidak selalu mulus, karena orang-orang yang bertemperamen otoriter sering juga ada didalam gereja dan mereka sering bereaksi menentang pemerintah gereja dengan model ini.

c. Kelemahan Sistem Konggregasi

Rasul Paulus selalu menunjuk dan mengangkat para penatua untuk memimpin jemaat-jemaat itu (Kis. 14:23), dan dia juga memerintahkan Titus untuk melakukan hal yang sama (Titus 1: 5). Jadi, Alkitab memang mengajarkan otoritas yang absah dalam hal kepemimpinan.   Sebagaimana model Presbiterian, pemberian wewenang seperti ini memberi kekuatan yang sama kepada para Pemimpin jemaat yang berasal dari kalangan awam sehingga jika pendeta membuat marah jemaat, maka mereka dapat mengusirnya dengan mudah. 

Padahal Pendeta di gereja haruslah merasa bebas untuk memimpin tanpa banyak dicampuri dengan urusan yang kurang penting. Disamping itu dalam hal gereja harus menghakimi terkait kasus-kasus disiplin gereja, pendeta kerap berada pada posisi yang terjepit ketika adanya keberfihakan didalam jemaat.

4. Sistem Pemerintahan Sinodal dan Campuran

Sebagaimana sudah dibahas, sistem pemerintahan gereja, secara umum, dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar tadi  tetapi dalam prakteknya ada beberapa bentuk variasi penggabungan dari sistem-sistem yang ada sehingga terkadang sulit bagi kita untuk mengidentifikasi secara spesifik sistem yang mana yang selama ini sudah diterapkan oleh suatu gereja, karena dalam beberapa hal mereka menganut Episkopal atau Presbiterian atau Konggregasi tetapi pada aspek-aspek tertentu mereka juga menggunakan aspek-aspek dari masing-masing sistem yang lain. 

Istilah sinode atau synod (Inggris) yang berasal dari kata Yunani synodos, yang berarti "Orang Kristen berkumpul untuk membahas kegiatan pelayanan gereja." Gereja mula-mula melakukan pertemuan oikumene (konsili) atau Sinode gereja yang diikuti oleh wakil-wakil berbagai gereja. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa sistem pemerintahan gereja dengan model sinodal adalah sistem yang memberikan peluang kepada para pemimpin dan jemaat-jemaat untuk bersama-sama berpartisipasi langsung dalam pengambilan keputusan, dan menjalankan organisasi. 

Dalam sistem sinodal ini terdapat hubugan kerja antara gereja pusat dan lokal karena kewenangan dan pengambilan keputusan gereja didentralisasikan kepada gereja lokal sehingga  para pemimpin dan jemaat-jemaat dapat berpartisipasi langsung dalam pengambilan keputusan, dan menjalankan organisasi.

5. Evaluasi Sistem Pemerintahan Gereja

Kondisi pelayanan dan sejarah maupun tradisi setempat perlu diperhatikan agar faktor kontekstualisasi dapat memberikan dukungan terbaik untuk pemberitaan Injil. Namun demikian  jemaat secara keseluruhan harus waspada terhadap kelompok-kelompok yang  haus kekuasaan yang sering mengambil kesempatan didalam jemaat terutama terhadap gereja yang rohani jemaatnya belum dewasa.  Masing-masing sistem memiliki kelebihan dan kekurangannya, karena itu kelemahan-kelemahan itu perlu dipikirkan dan ditutup. 

Gereja Roma Katholik, Ortodoks dan Anglikan dan Episkopal (Anglikan di USA)  sampai sekarang ini masih menerapkan Sistem Episkopal. Khususnya gereja Roma Katholik, tetap dapat mengatur gereja Katholik dengan baik diseluruh dunia karena dapat dengan ketat dan konsisten menjalankannya dan berhasil menanamkan kewibawaan Gereja dihadapan jemaat.  

Kuncinya adalah Kepemimpinan yang terbaik, komitmen kesetiaan dan pelaksanaan peraturan secra ketatdan konsisten. Zaman yang semakin terbuka tidak menjadi penghalang bagi gereja Katholik yang kekuasaannya sangat sentralistik itu terbuka terhadap segala kebutuhan pelayanan yang terus meningkat sesuai dengan perkembagan zaman sekarang ini.

Namun demikian, kedepan sistem pemerintahan gereja dan Kepemimpinannya juga akan terus mengarah kepada keterbukaan dan desentralisasi bahkan sistem struktur gereja mengarah kepada konggregasi mengingat semakin pentingnya efisiensi dan efektifitas  pelayanan gereja. Oleh karena itu, gereja-gereja manapun itu tidak dapat lagi terus-menerus bertahan pada zona nyaman, sentralisasi, apalagi terus mempertahankan gaya lama seperti Kepemimpinan Klerus atau kelompok  para pendeta. 

Tidak dapat lagi satu gereja dan para Pemimpinnya merasa gerejanya adalah gereja yang paling benar, sudah senior dan lebih berpengalaman, karena sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, meskipun sudah banyak umurnya, bukankah generasi jemaat terus berganti sehingga iman jemaat didalam gereja juga dapat mengalami pasang surut dari satu generasi  ke generasi apabila digembalakan dengan kualitas rendah.

Kembali kepada Sistem Pemerintahan Gereja, tidak ada lagi satu gereja yang benar-benar murni menerapkan salah satu sistem Episkopal atau Presbiterian atau Konggregasi, maka semakin banyak gereja sekarang ini yang menyukai  jargon  gereja A adalah Gereja A.  Sayangnya jargon ini sering dipakai oleh para Pemimpin yang sudah merasa berada di zona nyaman untuk bersembunyi, karena takut menghadapi perubahan. 

Padahal tuntutan zaman sekarang, di zaman teknologi informasi ini, pelayanan yang tulus dan berani menjadi hamba yang melayani seperti contoh Tuhan Yesus dan Para Rasul, adalah satu-satunya kunci agar gereja dapat dipercaya menyebut dirinya sebagai Tubuh Kristus dan layak menyampaikan Firman Allah, didengar dan dipercaya pemberitaannya.

 

6. Kecenderungan kepada Sistem Presbiterian

Alkitab Perjanjian Baru memberikan gambaran sejarah yang secara kurun waktu tidak sampai satu abad dan gereja juga pernah menggunakan salah satu dan kombinasi daripada system pemerintahan gereja pada gereja mula-mula. Tentu saja perkembangan zaman membutuhkan kecermatan gereja dalam mengatur secara bijaksana pelayanannya yang tulus dan murni. 

Penerapan sistem pemerintahan gereja tetap haruslah didasarkan kepada Firman Tuhan dan pengaturan Tubuh Kristus untuk kemuliaanNya, bukan untuk kepentingan-kepentingan tertentu melalui penerapan model-model tersebut.   

Banyak para ahli Ekklesiologi sekarang ini,  terkait Sistem Pemerintahan Gereja,  semakin cenderung kepada sistem Presbiterian karena dianggap lebih mencontoh gereja mula-mula atau lebih Alkitabiah.  Beberapa catatan penting yang harus diingat terutama oleh jemaat adalah : 

  • Pertama, sejak zaman gereja mula-mula, gereja sudah mengatur dirinya sendiri dan tidak ada apa yang namanya pendelegasian wewenang para rasul.
  • Kedua, pemilihan para pelayan didalam gereja, para penatua dan diaken tidak dilakukan oleh jemaat yang masih belum matang kerohaniannya karena itu pemilihannya harus dilakukan oleh para penatua dan diaken yang telah terbukti baik kesalehan, pelayanan  dan karakternya didalam jemaat. (1 Tim. 3; Titus 1). Persyaratan ini penting dicatat, karena sering terjadi pemilihan penatua dan pejabat gereja yang hanya karena memiliki posisi didalam masyarakat dan tidak memiliki spritualitas yang baik akhirnya menciptakan kondisi yang buruk didalam pelayanan gereja.
  • Ketiga, pada umumnya jemaat mempercayai pentingnya Kepemimpinan Pendeta atau Penatua didalam gereja karena Kelompok tanpa pemimpin cenderung akan menghadapi kegagalan karena tidak ada yang mengarahkan kepada pencapaian tujuan bersama. Mamang betul para penatua atau pendeta yang melakukan kesalahan yang berat tidak boleh dipertahankan dan harus disingkirkan dari kepemimpinan (1 Tim. 5:20). Sebaliknya, bagi mereka yang tulus dan sungguh-sungguh melayani serta dapat dipercayai (1 Tim. 5: 18-19), merekalah yang layak menjadi Pemimpin Jemaat.
  • Keempat, Penatua tidak boleh memimpin sendiri. Harus ada Tim yang bekerja bersama-sama dalam kemajemukan pada kepenatuaan sehingga kondisi itu akan dapat membantu menghindari  terciptanya tirani atau penyelewengan wewenang menjaga pertanggungjawaban atas keputusan para penatua.

 Penutup.

Pada akhirnya Sistem Pemeritahan Gereja harus tetap didasarkan kepada Firman Tuhan terutama perkembangan gereja sejak hari Pentakosta dan gereja mula-mula. Namun perkembangan zaman membutuhkan hikmat surgawi, dimana para Pemimpin gereja harus dapat menyesuaikan diri dan kontekstual namun  tetap harus berdiri diatas Firman Tuhan dan taat kepada Pimpinan Roh Kudus yang empunya Gereja. 

Ketaatan yang demikian sangat penting agar para Pemimpin Rohani dapat menjalankan penggembalaannya dengan benar, dapat terhindar dari godaan kepentingan dibalik segala sistem yang ada yang sebetulnya hanyalah unsur pendukung didalam kesekasian gereja di dunia ini tetapi cukup memainkan peranan penting.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun