PARADOKS INDONESIA: "Monopoli BBM terselubung oleh Pertamina adalah kebijakan anti modal asing, anti kompetisi dan menyuburkan perburuan rente"
Ketika pemerintah berbicara tentang "iklim investasi yang ramah dan terbuka", publik biasanya berharap akan ada kebijakan yang sejalan dengan semangat itu: kompetisi sehat, efisiensi pasar, dan kepastian hukum bagi semua pelaku usaha. Namun, harapan itu seolah menguap begitu saja setelah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memutuskan bahwa semua badan usaha swasta wajib membeli BBM murni (base fuel) dari Pertamina untuk memenuhi kebutuhan stok mereka pada tahun 2025.
Kebijakan ini diumumkan oleh Dirjen Migas, Laode Sulaeman, usai Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR RI, serta disebut telah mendapat restu Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia. Dalam pernyataannya (7/10/2025), Laode menegaskan bahwa langkah ini diambil untuk menjaga neraca komoditas nasional agar tidak "sebentar-sebentar impor". Ia juga menyebut bahwa tiga SPBU swasta---BP, AKR, dan VIVO---sudah sepakat membeli BBM dari Pertamina, sementara Shell masih menolak dengan alasan internal korporasi.
Sekilas, argumen pemerintah tampak rasional: Indonesia tidak ingin bergantung pada impor, apalagi di tengah fluktuasi harga minyak global dan melemahnya rupiah. Namun bila ditelaah lebih dalam, kebijakan ini justru mengandung kontradiksi logis dan struktural. Ia tidak hanya mengaburkan semangat liberalisasi pasar energi, tetapi juga menekan konsumen dan investor dalam satu tarikan napas yang sama.
BBM Swasta yang Tak Lagi "Swasta"
Bayangkan Anda mengelola SPBU dengan merek internasional seperti Shell atau BP. Selama ini, Anda dikenal karena menjual BBM dengan standar mutu tinggi---RON 95 ke atas, aditif unggulan, serta pelayanan cepat dan bersih. Anda berinvestasi triliunan rupiah untuk membangun jaringan SPBU yang modern. Namun tiba-tiba pemerintah memerintahkan agar semua bahan bakar yang Anda jual harus dibeli dari pesaing langsung Anda sendiri: Pertamina.
Kondisi ini tidak ubahnya seperti meminta restoran cepat saji asing membeli daging, bumbu, dan kentang dari restoran BUMN saingannya. Sulit tidak menyebutnya absurd.
Secara struktural, Pertamina adalah pemain dominan sekaligus regulator bayangan. Ia menguasai infrastruktur kilang, terminal, dan distribusi bahan bakar. Ketika swasta dipaksa membeli dari Pertamina, maka pasar energi otomatis berubah menjadi pasar satu pintu dengan risiko monopoli terselubung.
Dalam teori ekonomi pasar, kondisi seperti ini menciptakan conflict of interest yang serius: pemasok memiliki insentif untuk menentukan harga tinggi dan menekan inovasi pesaingnya. Akibatnya, konsumen kehilangan alternatif produk, sementara swasta kehilangan daya tawar.
Kontradiksi dengan Janji Investasi Asing
Kementerian Investasi/BKPM selama ini gencar menggaungkan semangat keterbukaan. Mereka berbicara tentang ease of doing business, perbaikan iklim investasi, hingga peluang kolaborasi dengan modal asing. Namun kebijakan ESDM ini justru mengirimkan sinyal sebaliknya.