Mohon tunggu...
Ronald SumualPasir
Ronald SumualPasir Mohon Tunggu... Penulis dan Peniti Jalan Kehidupan. Menulis tidak untuk mencari popularitas dan financial gain tapi menulis untuk menyuarakan keadilan dan kebenaran karena diam adalah pengkhianatan terhadap kemanusiaan.

Graduated from Boston University. Tall and brown skin. Love fishing, travelling and adventures.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menkeu Purbaya Versus Supply Side Economics.

6 Oktober 2025   17:23 Diperbarui: 9 Oktober 2025   10:06 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Namun risiko dari strategi ini tidak kecil. Dengan tambahan uang beredar Rp200 triliun:
*Nilai tukar rupiah bisa tertekan.
*Potensi asset bubble di sektor properti dan saham meningkat.
*Dan bila permintaan tak juga tumbuh, uang itu hanya akan berputar di sektor finansial, bukan riil.

Inilah mengapa banyak ekonom menilai kebijakan tersebut tidak berakar pada teori makroekonomi yang kokoh. Ia lebih merupakan langkah discretionary---berbasis intuisi dan pengalaman empiris pejabat keuangan---bukan hasil dari penerapan teori seperti Supply Side maupun Keynesian murni.

7. Antara Teori dan Realitas

Dalam dunia ekonomi, teori hanyalah kompas, bukan peta.
Namun seorang menteri keuangan tetap dituntut untuk menjelaskan arah kebijakan dengan landasan ilmiah, apalagi bila menyangkut angka sebesar Rp200 triliun.

Bila kebijakan ini hendak dikaitkan dengan Say's Law, maka harus dijelaskan: supply siapa yang ingin ditumbuhkan, demand dari siapa yang akan menyerapnya, dan mekanisme transmisi seperti apa yang diharapkan bekerja. Tanpa itu, kebijakan likuiditas akan berakhir seperti air hujan yang menggenang di sungai kering---tidak mengalir ke sawah ekonomi rakyat.

8. Penutup: Ekonomi Butuh Rasionalitas, Bukan Respon Refleks

Teori Supply Side Economics pernah menyelamatkan Amerika dari stagflasi, tapi hanya karena saat itu masalah mereka memang berada di sisi penawaran. Indonesia hari ini menghadapi tantangan berbeda: daya beli melemah, penerimaan pajak rendah, dan kepercayaan pasar rapuh. Menambah uang beredar dalam situasi seperti ini lebih mirip mendorong pintu yang sudah terbuka---energinya besar, hasilnya kecil.

Maka, langkah Purbaya layak dikritisi bukan karena niatnya buruk, tetapi karena ia menggunakan obat yang salah untuk penyakit yang berbeda.
Dalam ekonomi, sebagaimana dalam medis, diagnosis yang keliru hanya akan memperburuk kondisi pasien.

Referensi:
1.Jean-Baptiste Say, Treatise on Political Economy (1803).
2.Arthur Laffer, The End of Prosperity (2008).
3.Robert Mundell, Nobel Lecture (1999).
4.Jude Wanniski, The Way the World Works (1978).
5.CNBC Indonesia, "Purbaya Siapkan Rp200 Triliun Likuiditas Tambahan" (2025).
6.Bloomberg Technoz, "Kebijakan Likuiditas Pemerintah: Antara Stimulus dan Risiko Inflasi" (2025).
7.Bank Indonesia, Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Juli 2025.
8.IMF Working Paper (2024): Monetary Transmission in Emerging Markets.

Disclaimer:

Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis berdasarkan analisis terhadap data publik dan teori ekonomi makro yang relevan. Tidak mewakili pandangan resmi lembaga atau institusi manapun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun