Dalam rapat dengan DPR pada 2025, Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa (yang sebelumnya dikenal sebagai ekonom makro dan mantan Komisioner LPS) menyatakan bahwa pemerintah akan menambah likuiditas hingga Rp200 triliun ke sistem perbankan.
Tujuannya:
"Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan menjaga stabilitas sistem keuangan."
Langkah ini mirip dengan strategi pelonggaran kuantitatif (quantitative easing) yang dulu dilakukan bank sentral di AS, Eropa, dan Jepang. Hanya saja, konteks Indonesia berbeda.
Berdasarkan data Bank Indonesia, Loan to Deposit Ratio (LDR) per Juli 2025 masih berada di bawah 90%, artinya bank masih memiliki cukup dana untuk disalurkan.
Selain itu, Giro Wajib Minimum (GWM) masih dalam batas aman dan rasio kredit bermasalah (NPL) relatif stabil. Dengan kata lain, masalah ekonomi Indonesia tidak berada di sisi penawaran (supply), melainkan di sisi permintaan (demand)---konsumen enggan belanja, dunia usaha menahan ekspansi, pabrik banysk yang tutup, PHK dimana-mana, jumlah kelas menengah yang semakin menurun, pekerja sektor informal semakin membeludak dan tingkat kepercayaan pasar belum pulih.
5. Apakah Kebijakan Purbaya Berdasarkan Teori Supply Side?
Jika kita uji dengan kerangka teori Arthur Laffer atau Say's Law, maka jawabannya: tidak sepenuhnya.
Langkah Purbaya menambah uang beredar memang seolah meniru prinsip Supply Side: menambah likuiditas agar dunia usaha bergairah. Namun konteks Indonesia saat ini tidak berada dalam kondisi stagflasi seperti AS era 1980-an.
Inflasi Indonesia relatif rendah, pertumbuhan ekonomi masih di atas 4,8%, dan tingkat pengangguran tidak ekstrem. Masalah utama justru pada pelemahan daya beli dan rendahnya permintaan domestik. Maka menambah uang beredar justru berisiko memicu inflasi tanpa meningkatkan output riil.
Selain itu, tingkat undisbursed loan (kredit yang sudah disetujui tapi belum dicairkan) sangat tinggi. Artinya, pelaku usaha sudah diberi dana tapi enggan menggunakannya karena pasar lesu. Dalam kondisi seperti ini, menambah likuiditas bukanlah solusi berbasis teori ekonomi, melainkan tindakan pragmatis---atau dalam istilah awam: common sense.
6. Buying Time di Tengah Ketidakpastian
Beberapa analis ekonomi (CNBC Indonesia, Bisnis.com, dan Bloomberg Technoz) menyebut kebijakan ini sebagai langkah buying time: upaya sementara untuk mencegah stagnasi, sambil menunggu pemulihan konsumsi dan investasi.