"Suntikan Menkeu Purbaya 200 Triliun versus Supply Side Economics".
---------
Ketika Menteri Keuangan Purbaya menyatakan pemerintah akan menambah likuiditas hingga Rp200 triliun untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, banyak pihak menilai kebijakan ini sebagai langkah "berani". Tetapi di sisi lain, langkah tersebut juga memunculkan tanda tanya besar: atas dasar teori ekonomi apa keputusan sebesar itu diambil?
Apakah Purbaya sedang menerapkan prinsip Supply Side Economics seperti era Ronald Reagan di Amerika Serikat? Ataukah ini sekadar strategi buying time---membeli waktu---agar roda ekonomi tetap berputar di tengah permintaan yang lesu dan tekanan fiskal yang menumpuk?
Mari kita bahas secara sistematis.
1. Asal-usul Teori Supply Side Economics
Supply Side Economics muncul sebagai reaksi terhadap kebijakan Keynesian yang mendominasi pasca-Depresi Besar 1930-an. Bila Keynesian menekankan pentingnya permintaan (demand) sebagai motor ekonomi, maka Supply Side justru berpandangan sebaliknya: penawaran (supply) lah yang menciptakan permintaan.
Jargon yang terkenal dari teori ini berasal dari Say's Law---diciptakan oleh ekonom Prancis Jean-Baptiste Say (1767--1832)---yang menyatakan:
"Supply creates its own demand."
Artinya, setiap produksi barang dan jasa akan menciptakan pendapatan yang cukup untuk membeli barang dan jasa lainnya. Bila produsen diberi ruang untuk memproduksi lebih banyak (melalui insentif pajak, kemudahan investasi, atau suku bunga rendah), maka perekonomian akan berkembang dengan sendirinya.
Teori ini dihidupkan kembali di Amerika Serikat pada akhir 1970-an hingga awal 1980-an, ketika negara itu menghadapi stagflasi---yaitu kombinasi inflasi tinggi, pengangguran tinggi, dan pertumbuhan ekonomi stagnan---di bawah pemerintahan Jimmy Carter.