Namun kebijakan besar yang benar-benar menerapkannya datang di era Ronald Reagan (1981--1989) melalui apa yang kemudian dikenal sebagai "Reaganomics."
2. Arthur Laffer dan Revolusi Pajak Reagan
Salah satu tokoh paling berpengaruh di balik teori ini adalah Arthur Laffer, profesor ekonomi dari University of Southern California. Laffer dikenal dengan "Laffer Curve", sebuah konsep yang menggambarkan hubungan antara tarif pajak dan penerimaan negara.
Kurva tersebut menunjukkan bahwa:
*Jika tarif pajak terlalu tinggi, orang akan kehilangan insentif untuk bekerja atau berinvestasi, sehingga pendapatan negara justru menurun.
*Jika tarif pajak terlalu rendah, pendapatan negara juga kecil karena basis pajak sempit.
*Maka ada titik optimal di antara keduanya, di mana pajak cukup rendah untuk mendorong investasi namun cukup tinggi untuk mendanai negara.
Selain Laffer, beberapa ekonom lain yang mendukung teori ini antara lain:
*Robert Mundell (penerima Nobel 1999), yang juga dikenal sebagai "bapak Euro".
*Jude Wanniski, jurnalis Wall Street Journal yang memperkenalkan istilah Supply Side Economics ke publik.
*Paul Craig Roberts, Wakil Menteri Keuangan AS era Reagan, yang turut merancang kebijakan pemotongan pajak besar-besaran tahun 1981.
Kebijakan ini berhasil menurunkan inflasi dan memicu pertumbuhan ekonomi tinggi di era Reagan, meski juga menyebabkan defisit anggaran yang membengkak.
3. Kekuatan dan Kelemahan Teori Supply Side
Kekuatan utama:
1.Memberi ruang bagi dunia usaha untuk berkembang.
2.Meningkatkan investasi dan produktivitas.
3.Mendorong penciptaan lapangan kerja melalui insentif pajak dan pelonggaran regulasi.
Kelemahannya:
1.Hasilnya tidak instan, efeknya baru terasa dalam jangka panjang.
2.Tidak cocok diterapkan dalam kondisi permintaan lemah---karena produksi tidak akan tumbuh bila pasar tidak membeli.
3.Menyebabkan ketimpangan ekonomi karena lebih menguntungkan kelompok berpendapatan tinggi.
4.Dapat meningkatkan defisit fiskal bila pendapatan pajak turun.
Dengan kata lain, Supply Side Economics efektif bila perekonomian sedang "macet karena terlalu panas" (overregulated atau pajak terlalu tinggi), bukan ketika masyarakat sedang menahan konsumsi karena daya beli menurun.
4. Kebijakan Menkeu Purbaya: Menambah Likuiditas Rp200 Triliun