Mohon tunggu...
Ronald SumualPasir
Ronald SumualPasir Mohon Tunggu... Penulis dan Peniti Jalan Kehidupan. Menulis tidak untuk mencari popularitas dan financial gain tapi menulis untuk menyuarakan keadilan dan kebenaran karena diam adalah pengkhianatan terhadap kemanusiaan.

Graduated from Boston University. Tall and brown skin. Love fishing, travelling and adventures.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Subsidi Gas Melon: Di Jaman Big Data, Mengapa Transparansi Menjadi Barang Langka?

4 Oktober 2025   20:01 Diperbarui: 4 Oktober 2025   20:01 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Subsidi Gas Melon di Era Big Data: Mengapa Transparansi Data Masih Jadi Barang Langka?

------


Bayangkan sebuah pagi di sebuah warung kopi kecil di pinggiran kota. Pemiliknya, Bu Siti, tengah menanak air menggunakan tabung gas melon 3 kilogram. Gas ini adalah penopang usahanya: membuat kopi sachet, merebus mie instan, dan menyiapkan gorengan untuk tetangga sekitar. Tanpa gas melon, warung Bu Siti mungkin tak sanggup bertahan.

Namun, di sisi lain kota, sebuah restoran keluarga yang cukup besar juga menggunakan puluhan tabung gas melon setiap minggunya. Restoran itu seharusnya memakai gas nonsubsidi seperti bright gas atau tabung besar 12 kilogram, tetapi demi efisiensi biaya, mereka memilih gas bersubsidi. Akhirnya, subsidi yang dimaksudkan untuk rakyat kecil seperti Bu Siti justru dinikmati oleh pemilik restoran yang jelas bukan kategori miskin.

Inilah wajah nyata dari kebocoran subsidi energi di Indonesia.

1. Janji Big Data yang Tak Kunjung Datang

Secara teori, masalah subsidi bisa diatasi dengan mudah. Dengan integrasi data kependudukan, data ekonomi rumah tangga, dan data konsumsi energi, pemerintah bisa mengetahui siapa yang layak menerima subsidi dan siapa yang tidak. AI bisa memfilter penerima yang berhak dalam hitungan detik. Superkomputer bisa memproses jutaan catatan dalam sekali klik.

Namun, praktik di lapangan menunjukkan jurang besar antara teknologi yang tersedia dengan kemampuan pemerintah menggunakannya. Program Satu Data Indonesia sudah diluncurkan sejak 2019, tetapi hingga kini masih jalan tersendat. Data penerima bantuan sosial, data kependudukan, dan data fiskal masih berdiri di menara masing-masing, tanpa komunikasi yang lancar.

2. Fragmentasi Data dan Ego Sektoral

Salah satu penyakit kronis birokrasi Indonesia adalah ego sektoral. Data penduduk dikelola Dukcapil, data penerima bansos dikelola Kemensos, data UMKM ada di Kemenkop, sementara data energi tentu saja dipegang ESDM dan Pertamina. Kementerian Keuangan punya datanya sendiri.

Alih-alih disatukan, masing-masing instansi merasa punya "wilayah kekuasaan" atas data. Akibatnya, ketika subsidi energi harus disesuaikan, kementerian sibuk saling tuding soal validitas data. Padahal, dalam era big data, yang dibutuhkan justru interoperabilitas---data yang bisa dibaca lintas sektor dan digunakan bersama-sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun