Perdebatan antara Menkeu Purbaya dan Menteri ESDM Bahlil mencerminkan pertarungan dua paradigma:
*Paradigma fiskal (Purbaya): Negara tidak bisa terus-menerus membuang uang untuk subsidi yang bocor. Tanpa reformasi data dan mekanisme tepat sasaran, APBN akan semakin tertekan.
*Paradigma sosial (Bahlil): Subsidi adalah bentuk keberpihakan pada rakyat kecil. Pencabutan subsidi akan menimbulkan keresahan, menekan daya beli, dan berisiko menimbulkan instabilitas sosial.
Kedua posisi ini sama-sama punya dasar, tetapi keduanya juga sama-sama rapuh. Paradigma fiskal tanpa data yang valid akan berujung pada keputusan teknokratis yang tidak berpijak pada realitas. Paradigma sosial tanpa reformasi justru melanggengkan kebocoran yang akhirnya merugikan rakyat miskin sendiri.
7. Jalan Tengah: Subsidi Berbasis Data Terintegrasi
Solusi yang sering diusulkan adalah subsidi berbasis data terintegrasi. Artinya, subsidi tidak lagi diberikan secara terbuka (siapa saja bisa membeli LPG 3 kg), tetapi diarahkan langsung kepada penerima yang berhak. Mekanismenya bisa melalui:
*Kartu identitas tunggal (misalnya KTP elektronik yang sudah terhubung dengan data sosial-ekonomi).
*Voucher digital atau QR code untuk membeli LPG bersubsidi.
*Bantuan langsung tunai yang menggantikan subsidi barang.
Namun semua itu hanya bisa berjalan jika manajemen data diperbaiki secara serius, tanpa celah untuk manipulasi politik maupun rente ekonomi.
8. Mengapa Transparansi Masih Langka?
Jadi, kembali ke pertanyaan mendasar: mengapa di era superkomputer dan AI, manajemen data masih langka dan sulit transparan?
Jawabannya sederhana tetapi pahit:
*Karena fragmentasi kelembagaan membuat data tidak bisa menyatu.
*Karena politik data membuat banyak pihak enggan membuka angka sebenarnya.
*Karena kualitas input di level lapangan masih buruk.
*Karena kepentingan rente lebih diutamakan daripada akurasi.
Teknologi bukan masalah. Justru masalahnya adalah kemauan politik dan tata kelola.
Penutup: Dari Gas Melon ke Reformasi Data
Perdebatan subsidi gas 3 kilogram antara Purbaya dan Bahlil hanyalah puncak gunung es dari problem manajemen data di negeri ini. Selama data masih dianggap milik instansi, bukan milik publik, kebijakan tepat sasaran hanya akan jadi jargon. Selama data masih dipandang sebagai alat kekuasaan, bukan sebagai fondasi kebijakan, transparansi akan terus menjadi barang langka.