Mohon tunggu...
Ronald SumualPasir
Ronald SumualPasir Mohon Tunggu... Penulis dan Peniti Jalan Kehidupan. Menulis tidak untuk mencari popularitas dan financial gain tapi menulis untuk menyuarakan keadilan dan kebenaran karena diam adalah pengkhianatan terhadap kemanusiaan.

Graduated from Boston University. Tall and brown skin. Love fishing, travelling and adventures.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Suntikan Rp.200 Trilliun: Obat Manjur untuk Ekonomi yang Sedang Sakit di Sisi Permintaan???

11 September 2025   20:52 Diperbarui: 12 September 2025   07:39 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suntikan Rp200 Triliun: Obat Manjur  bagi Ekonomi yang sedang Sakit di sisi Permintaan?

Oleh: Ronald Sumual Pasir, MAEP.

Prolog: Obat yang Salah Sasaran?

Ketika Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan bahwa likuiditas perbankan "mengering" dan karenanya pemerintah akan menyuntikkan Rp200 triliun untuk menggerakkan kredit, publik terbelah. Sebagian menyambut ide itu sebagai langkah berani. Sebagian lain, terutama kalangan ekonom yang lebih hati-hati, justru mengernyitkan dahi: benarkah akar persoalan ekonomi Indonesia ada pada likuiditas? Atau jangan-jangan, suntikan dana besar itu hanyalah "obat palsu" yang salah sasaran?

Mari kita telisik lebih dalam.

Likuiditas Bank: Bensin Masih Banyak, Mesin yang Macet

Jika kita tengok data Bank Indonesia dan OJK, sulit menyebut perbankan sedang kering likuiditas.
*Rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) per Juli 2025 masih di atas 25%. Angka ini jauh di atas ketentuan minimum 10%. Artinya, bank punya kas yang lebih dari cukup.
*Loan to Deposit Ratio (LDR) berkisar 82--84%. Dalam kondisi normal, angka di bawah 90% justru menandakan ruang kredit masih longgar.
*Dana Pihak Ketiga (DPK) masih tumbuh sekitar 6--7% yoy, meski melambat dibanding era booming konsumsi.

Singkatnya, bensin di tangki bank ada, tapi mobilnya tidak mau jalan. Artinya, masalah bukan di pasokan, melainkan di permintaan.

Pertumbuhan Kredit: Bukan Soal Uang, tapi Soal Minat

Pertumbuhan kredit Indonesia per Juli 2025 hanya sekitar 9% yoy, di bawah harapan double digit. Namun jika dicermati, masalahnya bukan bank tidak mau menyalurkan kredit. Justru calon peminjam yang enggan meminjam.
*Kredit konsumsi (KPR, kendaraan) lesu karena daya beli masyarakat melemah.
*Kredit investasi stagnan di kisaran 4--5% karena perusahaan menunda ekspansi.
*Kredit modal kerja juga tak bergairah, sebab penjualan domestik tidak tumbuh.

Perusahaan yang bangkrut jelas tidak bisa mengakses kredit. Sementara perusahaan yang masih bertahan memilih menunggu, karena apa gunanya tambahan modal kerja jika permintaan barang dan jasa justru menurun?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun