Suntikan Rp200 Triliun: Kebijakan Menkeu Purbaya, Berkah atau Bom Waktu?
Di tengah sorotan publik terhadap arah kebijakan ekonomi nasional, langkah berani diambil oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Ia mengumumkan bahwa pemerintah berencana menarik dana Rp200 triliun yang selama ini "mengendap" di Bank Indonesia (BI), untuk kemudian disuntikkan ke sistem perbankan. Tujuannya jelas: mendorong kredit, memperlancar perputaran uang, dan pada akhirnya menstimulasi pertumbuhan ekonomi.
Namun, kebijakan ini langsung mengundang perdebatan di kalangan ekonom. Apakah suntikan ini akan menjadi oksigen segar bagi perekonomian yang tengah lesu, atau justru bisa berubah menjadi bom waktu yang mengancam stabilitas moneter?
---
Uang Mengendap yang Tak Memberi Kehidupan
Dalam teori ekonomi moneter, uang yang hanya "diam" tidak memberi kontribusi apa-apa. Ia seperti darah yang membeku di satu bagian tubuh, tak mengalir, tak memberi energi. Begitu pula Rp200 triliun yang selama ini tersimpan di kas pemerintah di BI. Dana itu sejatinya adalah hak rakyat yang bisa dimobilisasi untuk pembangunan, tapi dalam posisi idle, dampaknya nyaris nihil.
Maka langkah Purbaya memindahkan dana ini ke sistem perbankan sekilas tampak logis: daripada mengendap, lebih baik diputar melalui kredit agar roda ekonomi bergerak. Analogi yang dipakai Purbaya sederhana: pemerintah seakan menaruh deposito di bank, yang bisa ditarik kapan saja bila diperlukan kembali.
Tapi, dalam ilmu ekonomi, tidak ada makan siang gratis. Setiap kebijakan selalu punya konsekuensi.
---
Dari Kacamata Moneter: Menambah Darah atau Memicu Demam?
Secara moneter, kebijakan ini jelas merupakan bentuk ekspansi likuiditas. Dengan tambahan Rp200 triliun, perbankan akan memiliki ruang lebih besar untuk menyalurkan kredit. Secara teori, ini sejalan dengan semangat Keynesian: ketika ada output gap (produksi nasional lebih rendah dari potensi maksimalnya), injeksi likuiditas bisa membantu mendorong konsumsi dan investasi.