Tuduhan Makar dan Terorisme yang Tidak Terbukti: Bom Waktu Demokrasi Indonesia???
Pendahuluan
Sejarah bangsa kita mencatat, setiap kali rakyat turun ke jalan, narasi keamanan selalu mengemuka. Kata-kata seperti makar dan terorisme sering muncul dari mulut penguasa dan aparat. Narasi itu sengaja ditiupkan, seolah-olah rakyat yang menuntut keadilan sedang merencanakan kudeta atau hendak mengguncang negara.
Namun, apa jadinya bila tuduhan makar dan terorisme itu pada akhirnya tidak terbukti di pengadilan? Pertanyaan ini bukan sekadar spekulasi. Sejarah reformasi 1998, kerusuhan Mei, hingga demonstrasi mahasiswa 2019 dan 2020, semuanya menyisakan jejak dugaan rekayasa, kontra-operasi, dan provokasi intelijen yang justru memperkeruh keadaan. Bahkan Mahfud MD, mantan Menko Polhukam, pernah menegaskan bahwa kerusuhan dalam demonstrasi bisa saja bagian dari operasi intelijen untuk membungkam suara mahasiswa (Kompas, 22/5/2019).
Tulisan ini mencoba menelaah konsekuensi besar jika narasi makar dan terorisme terbukti hanya alat represi. Konsekuensi yang melampaui politik, menjalar ke ekonomi, sosial, hingga budaya.
Konsekuensi Politik
Politik adalah panggung pertama yang terguncang ketika tuduhan makar tidak terbukti.
Pertama, legitimasi pemerintah tergerus. Masyarakat akan melihat tuduhan itu sebagai manipulasi untuk membungkam oposisi dan mahasiswa. Pemerintah, alih-alih tampil sebagai pelindung demokrasi, justru dipersepsikan sebagai rezim otoriter yang alergi kritik.
Kedua, krisis kepercayaan publik terhadap narasi resmi. Ketika rakyat tahu tuduhan makar hanyalah konstruksi politik, maka klaim-klaim pemerintah di masa depan tidak akan dipercaya. Bahkan ketika ada ancaman nyata, masyarakat bisa menolaknya dengan sinis: "Ah, ini hanya akal-akalan." Krisis kepercayaan ini ibarat jurang yang memisahkan negara dengan warganya.
Ketiga, polarisasi politik makin tajam. Oposisi akan menjadikan kegagalan pembuktian makar sebagai peluru politik untuk menyerang pemerintah. Sebaliknya, kelompok pendukung penguasa akan bertahan dengan narasi stabilitas. Polarisasi ini berpotensi menciptakan kebuntuan politik dan memperlemah kohesi bangsa.
Keempat, represi menjadi bumerang. Jika banyak demonstran ditangkap dengan tuduhan makar dan terorisme, lalu terbukti tidak bersalah, negara harus menghadapi gelombang tuntutan hukum dan tekanan internasional. Amnesty International dan Human Rights Watch dalam banyak laporannya menyoroti pola kriminalisasi serupa di berbagai negara. Indonesia tidak kebal dari pengawasan global.