Tapi dari sini muncul ironi: kalau benar tujuan study tour adalah edukasi, mengapa yang paling resah justru industri pariwisata, bukan museum, universitas, atau pusat riset?
Jawabannya jelas: dalam praktiknya, study tour memang lebih banyak berperan sebagai "piknik tahunan". Paket perjalanan lebih menekankan pada destinasi wisata populer ketimbang kunjungan edukatif.
Analisis Cost--Benefit Sosial
Mari kita tinjau kebijakan KDM dengan kacamata social cost--benefit analysis.
1. Manfaat Sosial (Benefit) dari Pelarangan
*Orang tua terbebas dari beban biaya tinggi. Dengan rata-rata biaya study tour Rp2--5 juta per anak, pelarangan ini bisa menghemat ratusan miliar rupiah per tahun di Jawa Barat.
*Mencegah diskriminasi sosial. Siswa dari keluarga tidak mampu tidak lagi merasa tertinggal atau malu karena tidak ikut.
*Mendorong inovasi kegiatan belajar alternatif. Guru dapat merancang kunjungan edukasi lokal yang murah, seperti ke museum daerah, balai kota, kebun raya, atau industri lokal.
2. Biaya Sosial (Cost) dari Pelarangan
*Industri pariwisata kehilangan pasar signifikan. Bus pariwisata, hotel, restoran, dan agen perjalanan mengalami penurunan pendapatan.
*Pekerja sektor informal ikut terdampak. Mulai dari pemandu wisata hingga pedagang oleh-oleh.
*Potensi hilangnya momen kebersamaan siswa. Sebagian berargumen bahwa study tour juga membangun ikatan sosial antar siswa dan guru.
3. Titik Keseimbangan
Jika kita menimbang keduanya, maka jelas manfaat sosial yang langsung dirasakan keluarga jauh lebih besar dibanding kerugian industri pariwisata. Pendidikan adalah hak dasar anak, sementara pariwisata adalah sektor ekonomi yang penting tetapi tidak boleh membebani akses pendidikan.
Mengapa Tidak Mengundang Pihak Edukasi?
Kalau benar tujuannya edukatif, seharusnya sekolah lebih intens bekerja sama dengan:
*Museum dan galeri seni.
*Pusat riset pertanian, teknologi, atau energi.
*Pabrik lokal (misalnya pabrik teh, tekstil, atau makanan).
*Situs sejarah dan kebudayaan lokal.
Sayangnya, pihak-pihak inilah yang justru jarang dilibatkan. Yang dominan adalah agen travel dan biro pariwisata. Maka tak heran, begitu kebijakan pelarangan muncul, yang paling vokal menolak adalah industri wisata---semakin menegaskan bahwa study tour memang telah "dibajak" menjadi bisnis pariwisata berbungkus pendidikan.