Mohon tunggu...
Sri Romdhoni Warta Kuncoro
Sri Romdhoni Warta Kuncoro Mohon Tunggu... Buruh - Pendoa

• Manusia Indonesia. • Penyuka bubur kacang ijo dengan santan kental serta roti bakar isi coklat kacang. • Gemar bersepeda dan naik motor menjelajahi lekuk bumi guna menikmati lukisan Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Martabak Bangka di Pojok Perempatan

2 Desember 2023   20:42 Diperbarui: 6 Desember 2023   20:21 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gerombolan semut. Sumber: Pexels/Petr Ganaj

Selalu ramai dikerubungi pembeli. Berdatangan silih berganti dengan berbagai permintaan. 

"Satu, mas. Pakai coklat sama oreo"

"Tidak pakai wijen?"

"Boleh deh. Tapi sedikit saja"

"Martabak telurnya dua. Yang isiannya jamur sama ayam"


"Dijadikan satu saja bungkusnya. Tidak usah sendiri-sendiri" 

Keriuhannya menjadi alarm bagi aku dan teman-teman agar diam-diam segera mendekat. Merapatkan barisan dengan harapan panjang. Karena lapaknya buka sore hingga malam, pergerakanku kadang tidak diketahui.

Tapi apakah benar begitu? Tidak diketahui? Tepatnya, Darwis yang mengetahui kelakuan kami. Hanya dia. Darwis membiarkan kami karena bisikan langit tentang koloni kami telah dia dengar. Darwis selalu memberi kami apapun yang ada di kotak-kotak ramuan. 

Sejak lapak itu buka tiga belas tahun yang lalu, sejak itulah kami mulai merapat. Kekuatan penciumanku menjadi daya lenting teman-teman agar segera bergerak. 

Lapak Koh Bun sederhana, beberapa loyang berjejeran untuk mempercepat proses pesanan. Dinding seng dibentuk sedemikan rupa sebagai pembatas juga penutup dari pandangan para pengguna jalan. Spanduk merah besar menjadi papan perayu bertuliskan: 'Martabak Koh Bun-Asli Bangka'.

Kebaikan Darwis selalu berpijar disungut antena. Dia mengerti apa yang jadi harapan jenis serangga pelindung kutu daun. Darwis sudah lama menjadi pegawai Koh Bun. Dari pembicaraan antara dia dengan pelanggan, kami tahu Darwis bukan asli penduduk kota ini. 

Dia perantauan asal desa Sendang, Pracimantoro, Wonogiri. Terdamparnya dia disebabkan oleh permintaan simboknya agar jangan merantau jauh-jauh. Dia kalah cepat, jadi harus menerima nasib. 

Kakak-kakaknya telah duluan menjajah diberbagai belahan tanah air, bahkan satu diantaranya menjadi TKI di Hongkong. Sebagai bungsu, Darwis mengerti kekuatiran simbok. Sebenarnya bapak tidak mempermasalahkan kemana Darwis pergi.

"Biarkan to, mbok. Darwis butuh pengalaman hidup", kata bapak. "Apalagi anak lelaki, khasanah hidupnya supaya berwarna. Jangan hanya di hutan cari kayu atau makanan kambing. Ketemunya itu-itu saja. Diluar banyak hal yang bisa Darwis pelajari".

Tapi simbok punya pendapat, kalau dia kangen anak-anak, paling tidak Darwis bisa menghanguskannya bila tempat rantaunya dekat. Memang benar, jarak desanya ke kota Solo hanya tujuh puluh kilometer. Jika ditempuh dengan motor butuh waktu dua jam kurang sedikit, Itu alasan utama. Berharap pada kakak-kakaknya hanya pepesan kosong, itu alasan kedua.

***

Bila Darwis sudah memegang senjatanya, mulailah kilatan kepiawaian mengunjuk. Kecekatan tangannya mengaduk cairan kental kemudian menuangkan ke loyang panas pada kisaran derajat tertentu, sampai membiarkan cairan itu memadat hingga menjadi kenyal, dibiarkan tanak sebelum diangkat hingga pori-pori bermunculan. 

Asap meliuk-liuk menari keatas melukiskan kelezatan. Pancaran lampu led berdaya terang membantu memperlihatkan ujud nyata hasil kreasinya. 

Gambar dibuat menggunakan ideogram.ai
Gambar dibuat menggunakan ideogram.ai

Gumpalan mentega melapisi benda kenyal dengan topping mesis, gula pasir, cacahan kacang tanah atau mete, pecahan oreo, kismis, wijen, parutan keju ditambah susu kental manis. 

Kami melihat ketebalan topping dengan takjub. Disinilah Darwis menaburkan sedikit remahannya untuk kami. Tanpa basa-basi, segera penyerbuan terjadi kemudian mengusungnya menuju sarang besar. 

Hilir mudik sampai lapak tutup. Ritual tersebut telah berlangsung lama. Pendar-pendar cahaya mengiringi pasukan kami mengusung serpihan makanan yang lumayan mahal. 

Ya, harga Terang Bulan di lapak Koh Bun paling murah tujuh puluh lima ribu rupiah. Paling mahal seratus tiga puluh ribu rupiah. Hanya orang-orang menengah keatas yang kerap terlihat membelinya. Seorang pemulung tua-duduk ditrotoar- hanya mampu menelan ludah melihat bentuk Terang Bulan padat membengkak dengan lelehan topping berleleran. Baunya merupakan penghinaan paling menyesakkan. Kudapan itu bukan jangkauannya. 

"Beruntung sekali kalian makhluk Tuhan", ucapnya lirih sambil menatap barisanku. Pak tua hanya bisa memandang iri, jakunnya bergerak-gerak tanda keinginan. 

"Rejeki sudah diatur Tuhan, pak tua", kataku, bergegas menyesuaikan langkah kawan-kawan.

"Rejeki diatur Tuhan, rejeki diatur Tuhan", gerutu pak tua, "Dasar tengik! Makhluk sialan. Sok bijak"

Kebaikan Darwis memberi kontribusi telur-telur kami menjadi generasi unggul; kuat, cekatan, trengginas. Protein dan vitamin memasok gizi secara teratur buat asupan sang Ratu. Bertahun-tahun kebaikan Darwis menjadi buah bibir di kalangan koloni kami terkhusus serdadu pekerja.

Sebagai bagian dari ordo Hymenoptera, kami merupakan bagian dari peta hidup semesta. Sarang kami berada dibawah tanah, berkedalaman beberapa meter. Deretan toko-toko sepanjang jalan Oerip Soemohardjo merupakan benteng perlindungan. Lewat rekahan kecil antara dua tembok, disitulah akses keluar masuk para pekerja mengusung hasil tangkap buru. 

***

Waktu bak komidi putar, berkelindan mengikat makhluk Tuhan sebagai hukuman selama kiamat belum datang. Jangan heran kalau ada yang merasa diperbudak olehnya. Menghitung waktu sambil bergumam,"Kapan usainya?". Bagi kami, waktu juga memberikan pembelajaran akan berbagai peristiwa. Leluhur kami menjalin cerita kuno untuk dibagi rantaikan sebagai petuah bijak dari generasi ke generasi.

Aktifitas kami menunggu percikan remahan tidak selamanya berbuah manis. ada saja halangannya, 

"Dar, semut sebanyak ini kok nggak kamu singkirkan?", tanya Koh Bun sembari memukul mundur pasukan kami-yang menggumpal di pojok dekat meja pembungkusan-dengan kain busuknya hingga kami pontang-panting. Yang menempel dikibaskan terangkat keudara sebelum jatuh kelekaran. 

Koh Bun mewanti-wanti Darwis agar bersihkan semua gangguan dari lapaknya. Untuk sementara waktu, Darwis hanya menganggap peringatan itu sebagai lelucon belaka. Dia tetap akan membiarkan kami memperoleh jatah. Dari sorot matanya kami menangkap kalimat, "Tidak usah kuatir, hanya gangguan sementara. Tuhan tak pernah lelah menguji makhlukNya. Kalau kalian masih ingin menikmati martabak bangka, cari tempat yang tidak mudah terlihat Koh Bun" 

Dan satu lagi, "Makhluk Tuhan sukanya mengemis? Dari dulu hingga sekarang tidak berubah. Apa tidak memalukan?", sindir seekor cicak, merayap di dinding dekat tiang tenda. Kami tidak perlu berdebat dengannya. Sejak jaman Tuthankhamun, mereka memang telah mencanangkan permusuhan. 

Cara Darwis memperlakukan kami sungguh mulia. Ia tidak pernah menyakiti pasukan suku Formicidae. Darwis punya prinsip, menyakiti makhluk yang mempunyai kekuatan spektakuler-yang mampu mengangkat beban 50 kali beban tubuhnya-tindakan yang menciderai anjuran agama. Ya, itu pernah kami dengar. Darwis mengutip hadist Qudsi, Sesungguhnya Muhammad SAW mencegah dari membunuh empat hewan, yaitu semut, lebah, burung Hud-Hud dan burung Shurad.  

Letak lapak Koh Bun sungguh strategis. Dipojok perempatan lampu merah diposisi antara selatan dan barat. Pandangan mata pelintas secara otomatis akan tersedot oleh kerumunan pembeli dengan kibaran spanduk merah menyala. Gemerincing rupiah membuat Koh Bun terkekeh-kekeh. Pundi-pundi menggunung renyah.  Menurut kami, ramainya pembeli juga andil Darwis. Kebiasaannya membuat Tuhan senang. Sehingga Tuhan menggerakkan hati orang berduit untuk membeli kudapan asli Bangka. 

***

Cahaya sorot lampu mengarah ke lapak Koh Bun. Mengiris-iris pembeli dengan pendar. Didepan, perempatan jalan bergemuruh memunculkan tabiat pengendara. Egoisme membuncah. Serangan klakson tindih menindih dikarenakan sebuah mobil tua lambat bergerak.

"Brengsek! Beginilah kalau bekicot dikasih ijin"

"Kalau baru belajar nyetir cari tempat lain!"

"Dasar kadal! Bikin emosi saja!"

Klakson dipukul-pukul memekakkan telinga, mirip jeritan kuntilanak dihutan belantara. Lampu lalu lintas berubah warna. Kegaduhan mengapung bersama remang-remang. Kilatan-kilatan kemarahan berbaur ditengah keringat emosi tatapan.

"Hei! Apakah harus menunggu kiamat?"

"Bagaimana bisa dia mendapatkan SIM?"

"Sabar! Kalau tidak sabar terbang saja"

"Ndasmu!"

Ramai. Kiri, kanan, depan beradu umpat. Langit malam gagal meredam sumpah serapah manusia. Kami tidak terganggu oleh hiruk pikuk itu. Fokus pada pergerakan tangan Darwis. Sambil menggerak-gerakan  rahang serta kaki siap menerima jatah. Mata melihat seksama tarian Darwis. Memutari dalam loyang seraya mengucurkan cairan kental sesuai....

"DHUUAARRRRR!!...."

Tubuh kami menjauh. Terbang, didorong kekuatan yang tak kami ketahui. Lidah api menyala mirip jamur raksasa. Formasi berantakan melayang sebelum jatuh bergeletakan. Kobaran api melalap lapak Koh Bun. Api berderak-derak meloncat dengan cepat menyambar apapun yang terdekat. Episentrum itu menyedot tatapan pelintas jalan. Kegaduhan berpindah tempat. Api semakin menggila. Mbulat-mbulat merayap. Kami  mencoba membantu memadamkan. Pasukan bergerak menciduk air dan menjadikannya mirip balon berselimut asam fosfat, mengusung menuju sumber api. Beberapa diantaranya membuat bejana sebagai wadah air yang kami ambil dari genangan dipinggir trotoar sisa hujan.

"Ha...ha...mahkluk bodoh!". Cicak tertawa terbahak-bahak melihat perilaku kami. "sifat nenek moyangnya menurun. Sampai kapan dongeng itu kalian jadikan dogma?"

Terus bergerak tanpa mengidahkan cemoohan cicak. Orang-orang berjibaku menolong korban. Gugur gunung demi solidaritas. Guyuran air berhamburan melibas lapak Koh Bun. Sementara, yang kami lakukan dianggap mustahil. Tapi kami tidak bisa melupakan Darwis. Kebaikannya mendorong terciptanya aksi tersebut. Leluhur kami menuliskan hikayat berbalas kebaikan. Dulu, manakala nabi Ibrahim mau dihukum raja Namrud dengan cara dibakar, mereka menyiapkan bejana untuk membantu memadamkan api yang meringkus nabi. Walaupun dianggap mustahil serta sia-sia, tapi aksi itu sebagai simbol perjuangan dalam menegakkan keadilan serta menjawab tanya tentang posisi koloni semut. Dipihak mana mereka berdiri. 

Cicak meloncat susah payah mendekati percikan api. Mulutnya digelembungkan, meniupnya agar kian membesar. Aksinya menimbulkan gelegak diotakku. Kemarahanku memuncak.

"Serang dia. Bunuh! Hancurkan sampai lumat", perintahku. Kami membagi diri. Dengan kecepatan penuh, cicak bedebah itu kami kerubuti. Cabikan rahang mencacah sekujur tubuhnya. Dia mengeliat kesakitan, kaget. Berusaha mengibas-kibaskan tubuh sampai lupa kalau lidah api menjilat penuh sensasi. Terbakar. Tak sempat mengutuk, api memberangus hebat. Beberapa pekerja kami harus rela mati. Hangus. Raganya gosong kering merangas.

Mataku jelalatan menyambar sosok pak tua yang berdiri menantang, terkesan sombong. Kami bersirobok. Pesanku jelas. Dia tertawa licik, "Kenapa aku harus menyingsingkan lengan membantu padamkan api? Aku tidak pernah diuntungkan dari lapak itu". Seringai jahat menduplikat senyum licik. Bukan salah dia kalau tidak membantu. Cuma sayang, nuraninya tergadai. Akhirnya, kebakaran itu teratasi. Api menyusut, keriuhan surut. Korban-korban dibawa ke rumah sakit.

Beberapa hari kemudian bangkai lapak Koh Bun dibenahi. Pak tua mengais-kais reruntuhan berharap harta karun yang bisa dia dapatkan. Tongkat kaitnya mengacak-acak tumpukan rosok yang jumpalitan. Beberapa dia dapatkan. Senyumnya mengambang penuh kemenangan. Perbaikan segera dilakukan. Hanya butuh hitungan hari akhirnya selesai. Berpijarlah kembali 'Martabak Koh Bun-Asli Bangka'. Kami bersorak kegirangan. Sayang, sejak saat itu keberadaan Darwis tidak kami jumpai lagi. Entah bagaimana nasibnya kini.[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun