Mohon tunggu...
Sri Romdhoni Warta Kuncoro
Sri Romdhoni Warta Kuncoro Mohon Tunggu... Buruh - Pendoa

• Manusia Indonesia. • Penyuka bubur kacang ijo dengan santan kental serta roti bakar isi coklat kacang. • Gemar bersepeda dan naik motor menjelajahi lekuk bumi guna menikmati lukisan Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Martabak Bangka di Pojok Perempatan

2 Desember 2023   20:42 Diperbarui: 6 Desember 2023   20:21 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gerombolan semut. Sumber: Pexels/Petr Ganaj

"Bagaimana bisa dia mendapatkan SIM?"

"Sabar! Kalau tidak sabar terbang saja"

"Ndasmu!"

Ramai. Kiri, kanan, depan beradu umpat. Langit malam gagal meredam sumpah serapah manusia. Kami tidak terganggu oleh hiruk pikuk itu. Fokus pada pergerakan tangan Darwis. Sambil menggerak-gerakan  rahang serta kaki siap menerima jatah. Mata melihat seksama tarian Darwis. Memutari dalam loyang seraya mengucurkan cairan kental sesuai....

"DHUUAARRRRR!!...."

Tubuh kami menjauh. Terbang, didorong kekuatan yang tak kami ketahui. Lidah api menyala mirip jamur raksasa. Formasi berantakan melayang sebelum jatuh bergeletakan. Kobaran api melalap lapak Koh Bun. Api berderak-derak meloncat dengan cepat menyambar apapun yang terdekat. Episentrum itu menyedot tatapan pelintas jalan. Kegaduhan berpindah tempat. Api semakin menggila. Mbulat-mbulat merayap. Kami  mencoba membantu memadamkan. Pasukan bergerak menciduk air dan menjadikannya mirip balon berselimut asam fosfat, mengusung menuju sumber api. Beberapa diantaranya membuat bejana sebagai wadah air yang kami ambil dari genangan dipinggir trotoar sisa hujan.

"Ha...ha...mahkluk bodoh!". Cicak tertawa terbahak-bahak melihat perilaku kami. "sifat nenek moyangnya menurun. Sampai kapan dongeng itu kalian jadikan dogma?"

Terus bergerak tanpa mengidahkan cemoohan cicak. Orang-orang berjibaku menolong korban. Gugur gunung demi solidaritas. Guyuran air berhamburan melibas lapak Koh Bun. Sementara, yang kami lakukan dianggap mustahil. Tapi kami tidak bisa melupakan Darwis. Kebaikannya mendorong terciptanya aksi tersebut. Leluhur kami menuliskan hikayat berbalas kebaikan. Dulu, manakala nabi Ibrahim mau dihukum raja Namrud dengan cara dibakar, mereka menyiapkan bejana untuk membantu memadamkan api yang meringkus nabi. Walaupun dianggap mustahil serta sia-sia, tapi aksi itu sebagai simbol perjuangan dalam menegakkan keadilan serta menjawab tanya tentang posisi koloni semut. Dipihak mana mereka berdiri. 

Cicak meloncat susah payah mendekati percikan api. Mulutnya digelembungkan, meniupnya agar kian membesar. Aksinya menimbulkan gelegak diotakku. Kemarahanku memuncak.

"Serang dia. Bunuh! Hancurkan sampai lumat", perintahku. Kami membagi diri. Dengan kecepatan penuh, cicak bedebah itu kami kerubuti. Cabikan rahang mencacah sekujur tubuhnya. Dia mengeliat kesakitan, kaget. Berusaha mengibas-kibaskan tubuh sampai lupa kalau lidah api menjilat penuh sensasi. Terbakar. Tak sempat mengutuk, api memberangus hebat. Beberapa pekerja kami harus rela mati. Hangus. Raganya gosong kering merangas.

Mataku jelalatan menyambar sosok pak tua yang berdiri menantang, terkesan sombong. Kami bersirobok. Pesanku jelas. Dia tertawa licik, "Kenapa aku harus menyingsingkan lengan membantu padamkan api? Aku tidak pernah diuntungkan dari lapak itu". Seringai jahat menduplikat senyum licik. Bukan salah dia kalau tidak membantu. Cuma sayang, nuraninya tergadai. Akhirnya, kebakaran itu teratasi. Api menyusut, keriuhan surut. Korban-korban dibawa ke rumah sakit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun