aku terpaksa buang air kecil di belakang toilet: istinjak pake daun-daun bertempelan air hujan.
Menunggu hujan reda? Kapan selesainya? Jam menunjukkan pukul 07.17 wib. Perasaan sudah lama duduk. Waktu berjalan lambat. Dingin semakin menjadi-jadi. Aku bergerak kian kemari. Tangan dikibas-kibaskan sebagai cara mengurangi dingin. Tapi percuma saja. Jaket dengan segala atribut mampu ditembus. Duduk lagi- comot roti kering dikunyah.Â
Kami mengajak ngobrol seorang bapak-ternyata penduduk desa sekitar. Dari bibirnya keluar cerita, kalau hujan seperti saat ini penduduk lebih banyak diam dirumah. Selain itu dia cerita sering menuntun pelancong yang disorientasi medan-tersesat. Sepertinya kabut dan dingin telah meneken perjanjian selama berabad-abad untuk menguasai wilayah tersebut. Semua dibuat bertekuk lutut mencoba bertahan sebisanya. Terbiasa hidup dikota hangat memberi dampak menggigil. Hidungku sampai keluar ingus. Bergeraklah! agar kalian tidak membeku.
Pukul 09.00 wib seiring hujannya berhenti, motor melaju turun ke Bromo. Oh ya, kami tidak bayar tiket, nggak tahu kenapa? Mungkin karena kepagian?
Padang savana menyambut dengan jalan cor beton-kurang lebih 2 km. Kiri kanan rumput tinggi. Sesekali dikagetkan beberapa burung kecil warna coklat berjalan cepat melintas didepan kami. Padahal tidak ada satpol PP...he...he...he.... Jenis apa ya? Uniknya itu lho: jalannya cepat setelah itu terbang rendah menghilang disemak-semak. Â Mirip pesawat mustang take off.
Dari jauh bukit teletubbis dikerumuni pengunjung. Jeep berjejer menunggu layaknya murid Madrasah setor hafalan. Beberapa bule naik beranjak pulang ke arah Jemplang-Ngadas.
Kami standarkan motor. Berfoto ria sebagai kenangan hidup. Pengunjung lumayan banyak walaupun saat itu hari Rabu.
Dirasa cukup, kuda besi dipancal ke arah Pasir Berbisik. Cihuiiii.....motor kami terbang mirip burung kecil tadi. Pasirnya padat jadi tidak terpeleset. Eit, jangan lengah. Ada juga pasir yang menjebak motor. Hati-hati saja.
Subhanallah....betapa indahnya Ciptaan Sang Kuasa-Allah swt. Yang kami pijak kaldera tengger. Pasir mendominasi jangkauan mata. Berhenti untuk menikmati landskap. Tatapan berkeliling membuahkan kontemplasi, kita tidak ada apa-apanya dibandingkan alampada ini. Terkurung didalam kaldera begitu luas.
Manusia-manusia terlihat kecil-terlihat lemah-tidak berdaya-tergagap.
Pengunjung membentuk koloni menempati laman favoritnya. Semua ingin eksklusif. Bromo memasrahkan diri untuk di eksploitasi.