Pernahkah aspal Saradan sepi? "Walau malam jalan ini tetap penuh, mas".
"Ups, siapa yang ngejawab pertanyaanku tadi?"batinku.
Ngomong-ngomong masalah hutan tidak ada habis-habisnya. Karena jalan pulang tidak ambil Magetan, jadi wilayah hutan akan kami sambangi lagi didaerah Ngawi. Â
benar saja, Monumen Soerjo terlihat disisi kiri. Jejeran pohon jati memagari- memberi kekuatan pekat untuk kian memegang posisi. Pondok putri Gontor menampilkan diri selanjutnya. Aku tinggalkan diekor mata.
Bertiga terus melaju dengan jangkauan seadanya-kondisi memang padat dengan truk dan bus. Aku memberi kode untuk istirahat di Mantingan. Semua sepakat. Hutan gelap masih memayungi berbaur tingkah polah bus dari arah timur. Apa mereka SINTING?(Sopir Paling Penting-maksud pen) Seenak udelnya menyalip menyandang keselamatan penumpang. Rest area tampak. Ilham menepikan motornya-diikuti Apek. Pas didepan warung sate kambing- tapi tutup. Turun dari pelana kuda(besi) ibarat mendapat guyuran air pegunungan. Tangan diangkat keatas menegang. Gemeretak tulang menandakan bahwa dera kelelahan terlalu berat. Kaki diselonjorkan mengeliat. Aqua aku teguk semampunya. Hmmm....betapa nikmat. Kenyamanan terdapatkan diantara gelap malam. Â Tak jauh dari kami, warung hik masih hidup. Celoteh khas proletar menguatkan kami untuk jangan tergesa melepaskan suasana hening. Ilham sudah menyedot es teh yang telah diidam-idamkan beberapa jam lalu. Ada sekitar 20 menit kami ambil jatah break.
Mata aku kerjapkan sambil memandangi kawasan itu. Beberapa bapak-bapak terlihat keluar dari gapuro kampung seberang jalan pakai sarung rapi. Pulang pengajian?
Dirasa cukup, kami naik keatas pelana. Suprit kembali aku pegang. Menderulah motor menuju Sragen. Suntikan kesegaran menjadi item penting bagi kami.
Suara knalpot tertinggal di belakang. Masih menemui jalan menikung dan bergelombang-tambal sulam masih ada.
Memasuki Sragen semakin lengang saja. Lewat jalur kota setelah gerbang selamat datang mengharuskan kami hati-hati. Beberapa lubang terfragmen sporadis. Tidak banyak sih, tapi cukup mengagetkan. Tikungan Masaran menyambut kedatangan. Bukan hotmix ramah namun kehancuran aspal bener-bener parah. Pelek motor kami dihajar beruntun. Lama tidak lewat daerah ini sudah menjadi ajang kedongkolan.
Aku hanya bisa geleng kepala menyaksikan infrastruktur jalan begitu remuk. Harus tetap sabar.
Fly over Palur terlihat dari kejauhan. Taburan lampunya mirip mercusuar mengarahkan kami untuk melewati bagian bawahnya. Jalan begitu mulus. Stang mengarah ke barat menuju Jembatan Jurug. Kotaku Solo menyapa ramah,"Selamat datang, bro!"