Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara lahir dan tumbuh sebagai anak kampung di Rajawawo, Kec.Nangapanda, Ende-Flores, NTT. Kini, menetap di kampung sebagai seorang petani, sambil menganggit kisah-kisah yang tercecer. Kunjungi juga, floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Narsisisme Politik Menjelang Pilgub dan Pilkada

4 September 2012   05:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:56 671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa bulan terakhir ini mulut masyarakat NTT terutama daratan Flores mulai ramai memperbincangkan siapa yang pantas dan layak tampil dalam pertarungan pilgub dan pilkada 2013 nanti. Wacana menjelang pemilihan gubernur dan kepala daerah (pilkada) pun bertebaran memenuhi halaman media cetak. Tak ketinggalan dinding – dinding dunia maya pun bertaburan grup – grup pendukung pasangan bakal calon tertentu. Fenomena „dukung – mendukung“ ini bahkan kian kuat bergaung, bertalu bahkan bersahut – sahutan (saling debat) baik di dunia maya maupun dunia nyata tanpa bisa dihentikan waktu. Walau demikian, pemilihan gubernur NTT dan pilkada Ende, Nagekeo dan Sikka contohnya, sudah di depan mata. Pesta akbar demokrasi ini direncanakan akan diselenggarakan di tahun 2013, sebelum pilpres 2014. Namun persiapan sudah tergolong matang khususnya bagi para bakal calon gubernur (calgub) dan bakal calon wakil gubernur (cawagub) serta bakal calon bupati (cabup) dan bakal calon wakil bupati (cawabup) yang akan bertarung.

Kematangan persiapan bakal calon (balon) itu tidak sulit dilihat oleh mata telanjang masyarakat. Berita tentang seorang bakal calon tertentu yang dinobatkan sebagai „mosalaki“ (bah. Ende : raja, tua adat, tuan tanah atau orang yang di-tua-kan), sebagai contohnya. Pada zaman dahulu, menjadi „mosalaki“ hanya berasal dari kalangan tertentu dan hanya diwariskan berdasarkan garis keturunan. Rupanya kini makna „mosalaki“ sudah bergeser sesuai kepentingan politik, cukup datang satu jam bertemu masyarakat dan disambut dengan sedikit bahasa adat yang tidak jelas maknanya sudah menahbiskan seseorang menjadi „mosalaki“. Mudah, bukan? Meskipun yang dijanjikan sang bakal calon terdengar tidak realistis – bak ampas kelapa, tetap masyarakat mengangguk kepala tanda setuju, yang penting sudah disebut „mosalaki“.

Pada tempat yang sama, seorang bakal calon kepala daerah tidak malu – malu menunjukkan muka di hadapan publik. Mulai dari yang masih samar – samar sampai yang secara terang – terangan. Dikategorikan menunjukkan muka secara samar – samar seperti mengucapkan selamat pesta hari raya keagamaan, dari orang – orang tertentu yang tinggal di tempat tertentu. Kata „tertentu“ menunjuk pada ketidakjelasan sang bakal calon, tinggal dan menetap di luar Flores lalu ibarat „mesias“ yang mewartakan kabar keselamatan (kesejahteraan). Tapi bukan berarti tidak pernah mencium aroma politik daerah, kan? Sedangkan yang menunjukkan batang hidung secara nyata, datang dan hadir secara langsung di tengah masyarakat sembari mewartakan kabar „suka cita“ tentang kemakmuran bagi masyarakat. Tidak malu – malu sang bakal calon tampil sembari menobatkan dirinya di hadapan masyarakat. Kalimat – kalimat „Saya pemimpin energik dan revolusioner, Saya siap berdayakan petani, atau saya siap berbakti demi daerah“ ini dan itu seperti suara yang berseru – seru dari padang gurun – luruskan jalan bagi „mosalaki“ baru.

Kematangan persiapan sang bakal calon yang akan berlaga di atas pentas pilgub NTT dan pilkada juga terlihat ketika mereka mulai mencuri garis star kampanye, mengadakan konsolidasi, mengunjungi tempat – tempat, membagi pamflet dan kartu nama, memasang foto diri di jalanan, mengirim pesan singkat ke masyarakat, mengaktifkan blog dan website, serta berbicara di seminar – seminar.

Nah, sampai di sini, inikah demokrasi yang mesti dibangun atas dasar pencitraan semata? Terlepas dari kapabilitas, karisma kepemimpinan dan prestasi politik yang dimiliki seorang calon, politik pencitraan seolah menjadi mantra yang menentukan perolehan suara. Andai demikian, sebenarnya kita jatuh pada narsisisme politik.

Konsep dan istilah narsisisme berawal dari mitologi Yunani kuno tentang seorang pemuda tampan yang bernama Narsisus. Narsisus adalah putra dewa sungai, Cephissus. Pada saat itu Echo, seorang dewi yang tidak bisa berbicara, jatuh cinta kepadanya. Namun Narcisus bertindak kejam dan menolak cinta Echo. Pada suatu hari, Narsisus melewati sebuah danau yang sangat bening airnya dan melihat pantulan dirinya sendiri. Narsisus sangat mengagumi dan jatuh cinta pada pantulan itu. Narsisus sangat ingin menjamah dan memiliki wajah yang dilihatnya, tapi setiap kali mengulurkan tangannya untuk meraih pantulan itu, bayangan itu kemudian menghilang.

Narsisus tetap menunggu di tepi danau untuk mendapatkan bayangan yang menjadi obyek kekagumannya sampai mau menceburkan dirinya sendiri ke dalam danau dan akhirnya mati. Para dewa merasa kasihan padanya, sehingga Narsisus ditranformasikan menjadi tumbuhan berbunga yang diberi nama Narsisus berwarna kuning cerah, dan dikenal juga dengan nama Yellow Daffodil. Mitologi ini digunakan dalam Psikologi pertama kalinya oleh Sigmund Freud (1856-1939) untuk menggambarkan individu-individu yang menunjukkan cinta diri yang berlebihan (www.duniapsikologi.com).

Menurut Spencer A Rathus dan Jeffrey S Nevid (2000) dalam “Abnormal Psychology”, orang yang narcissistic atau narsistik memandang dirinya dengan cara yang berlebihan. Mereka senang sekali menyombongkan dirinya dan berharap orang lain memberikan pujian. Mereka selalu berharap kemenangan dan keberhasilan dalam perlombaan dan usaha tanpa mau melalui proses panjang. Cara kerja instan sering sebagai jalur aman menuju tahta kejayaan politik tanpa mau melihat prestasi dan kecakapannya. Dengan demikian, pencitraan diri dalam „saya nasionalis, saya pemimpin energik atau saya pemimpin muda dan agen perubahan“ tidak lebih seperti membuang garam ke tengah samudera.

Pemasangan foto, ucapan selamat atas hari keagamaan dari bakal calon tertentu di media massa dan spanduk, pembagian kartu nama dan brosur, pemasangan pamflet dan brosur di setiap pojok jalan raya tidak lebih dari sekedar memamerkan wajah, menunjukan muka dan memperkenalkan diri tanpa diikut sertakan apa yang pernah dibuat untuk masyarakat selama ini. Mereka senang dipuja sebagai „mosalaki“ tanpa harus bercermin, apa saya sanggup sebagai „mosalaki“ (pemimpin)  sejati? Mereka hanya ingin mencari perhatian dan sensasi agar dipilih dalam pilgub dan pilkada nanti.

Sadar atau tidak, mereka terjerembab dalam gangguan kepribadian narsistis (narcissistic personality disorder) – meminjam istilah Papu (2002) dalam “ Statistical Manual of Mental Disorders”. Gangguan kepribadian ini ditandai dengan ciri – ciri berupa perasaan superior bahwa dirinya adalah paling penting, paling mampu, paling unik, sangat eksesif untuk dikagumi dan disanjung, kurang memiliki empati maka harus dipilih sebagai gubernur dan bupati, angkuh dan selalu merasa bahwa dirinya layak sebagai pemimpin. Di lain sisi, mereka lupa membeberkan kelemahan dan kekurangannya, komitmen dan kontrak politiknya bersama rakyat tanpa melupakan “nilai“ dan „harga” yang mesti dibayar andai bualan politik dan janji manis surga kemakmuran bagi masyarakat tidak tercapai.

Akhirnya, narsisisme politik adalah cermin politik artificial yang dibangun melalui konstruksi citra diri “yang baik” dan mengabaikan pandangan umum terhadap realitas diri yang sebenarnya. Melalui politik penandaan (signification politic) berbagai titik hitam tentang tokoh, figur dan partai mengelabui persepsi public. Narsisisme politik adalah bentuk politik instan yang hanya mau menselebrasikan citra instan dan efek segera tanpa menghargai “proses politik”. Aneka bumbu politik: jujur, energik, nasionalis, cerdas dan bersih tidak dibangun secara alami melalui akumulasi karya, pemikiran, tindakan dan prestasi politik. Narsisisme politik tidak lebih sebagai trik bujuk rayu dan retorika komunikasi politik untuk meyakinkan masyarakat bahwa yang ditampilkan benar adanya. Padahal mungkin citra – citra itu tak lebih dari topeng politik yang menutupi wajah asli.

Nah, andai proses politik dan selebrasi pesta demokrasi yang ditawarkan seperti ini maka kita sudah terjerumus ke dalam neraka nihilisme demokrasi (democratic nihilism) – meminjam istilah Cornel West (2004).  Nihilisme demokrasi diwarnai politik pencintraan yang penuh kebohongan, manipulasi dan kepalsuan dengan mengabaikan substansi politik yang sejati.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun