Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara lahir dan tumbuh sebagai anak kampung di Rajawawo, Kec.Nangapanda, Ende-Flores, NTT. Kini, menetap di kampung sebagai seorang petani, sambil menganggit kisah-kisah yang tercecer. Kunjungi juga, floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Sebuah Puskesmas Kota

30 September 2016   12:30 Diperbarui: 30 September 2016   12:38 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara memanggil dari arah belakang, ketika kaki saya menginjak pintu gerbang keluar Puskesmas Kota itu. Perasaan tak ada yang lupa, helm saya menyimpannya di parkiran.

Seorang petugas perempuan tadi, yang tak berkerudung itu berlari kecil mendekat.

Su lupa kah?”, tanyanya.

Kami saling mengulurkan tangan. Saya meraih tangannya dalam gamang. Sambil otak saya bekerja keras, mengingat-ingat, siapa perempuan cantik ini. Teman semasa SD, pasti bukan. Teman SMP hingga SMA tak mungkin, sebab saya dididik dalam sekolah homogen. Teman sekolah tetangga waktu SMP-SMA, itu pun saya belum yakin sungguh. Sebab meski ‘zaman angin ribut’, di antara teman-teman seasrama saya paling pendiam, tak gaul dan lebih banyak waktu untuk membaca berlembar-lembar Kitab Suci. Zaman kuliah pun sama, saya tak punya teman kuliah secantik ini.

 “Kaka, su lupa kah”

Suaranya berubah renyah, halus menyapa. Seketika hati saya merasa, serasa menemukan yang telah lama hilang. Saya menyimpan rasa itu dalam kata yang tak sempat diucap.


“Kaka,” sapanya lirih. “Ingat to, kita pernah bersama di Salemba, Jakarta. Saya di Sint Carolus, dan kaka mereka di STF, yang di Jembatan Serong Rawasari itu. Kita punya kelompok paduan suara, menyanyi di beberapa acara pemberkatan nikah di gereja demi membayar uang kos. Syukur-syukur kalau lebih untuk uang fotocopy dan buku. Ingat ‘kan?, kita pernah jalan kaki di siang terik dari gereja Sint Teresa ke Salemba, hanya karena kita malu menagih jasa koor. Kita pulang tak sepeser pun uang, hingga tak bisa naik bajaj”

Perempuan cantik tak berkerudung itu mengenang. Saya mendengar tanpa ikut berkesah. Cukup kisah itu terpaku sanubari. Dalam hati kuat mengingat. Iya benar, tentang kisah kuliah di ibukota itu. Sepuluh tahun lalu. Urat-urat kening ini mencatatnya masih jelas.

“Kaka, ini nomor handphone saya, 081246754.... Tulis saja, Adel, nama saya”

Tak lupa saya mengucapkan terima kasih, atas pertemuan bermakna ini, seraya balas memberi nomor handphone. Kami berpamitan dengan saling memagut senyuman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun