Mohon tunggu...
rohmad
rohmad Mohon Tunggu... Essada

Sebagai seorang praktisi yang mendedikasikan diri pada dunia pendidikan dan seni, semangat adalah suluh yang tak pernah padam dalam setiap denyut aktivitas saya. Di tengah padatnya rutinitas mengajar dan segala tanggung jawab profesional yang diemban, saya meyakini bahwa hidup adalah sebuah kanvas luas yang perlu diisi dengan warna-warna kegembiraan dan ekspresi diri. Maka, di sela-sela jeda dan ruang waktu yang tercipta, saya melarikan diri ke dalam dunia hobi yang begitu saya cintai. Ada semesta tersendiri yang terbuka saat kuas menari di atas kanvas, melukiskan imajinasi dan emosi dalam goresan warna. Setiap lukisan adalah cerita yang tak terucap, sebuah refleksi dari pengamatan dan perasaan. Tak hanya itu, tangan ini juga gemar menciptakan keindahan yang lebih nyata: merancang taman-taman mungil yang menjadi oase ketenangan, membentuk ornamen-ornamen unik yang menghidupkan sudut ruangan, dan merangkai berbagai kerajinan tangan yang sarat makna. Setiap karya adalah manifestasi dari energi kreatif yang tak pernah habis. Lebih dari sekadar hobi visual dan kriya, jiwa saya juga terpanggil untuk menyelami samudra kata. Menulis adalah cara saya bernapas, merajut gagasan, dan berbagi perspektif. Dari benak ini lahir beragam karya sastra: puisi-puisi yang melukiskan rindu dan renungan, geguritan yang merawat keindahan bahasa Jawa, pantun-pantun ceria yang menebar senyum, hingga cerpen-cerpen yang mengisahkan fragmen kehidupan manusia dengan segala kompleksitasnya. Setiap bait, setiap kalimat, adalah upaya untuk menangkap esensi, mengabadikan momen, dan menyampaikan pesan dari hati ke hati. Bagi saya, pendidikan dan seni adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Keduanya adalah jalan untuk menumbuhkan kepekaan, kreativitas, dan empati. Melalui pendidikan, saya mencetak generasi; melalui seni, saya menginspirasi dan terus belajar untuk menjadi pribadi yang utuh, yang tak pernah berhenti berkarya dan menebar manfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Mutiara Terpendam

6 Juli 2025   23:01 Diperbarui: 6 Juli 2025   23:01 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

          Langit pagi menggantung mendung saat tangisan pertama Ari lahir ke dunia.

Sayangnya, tangisan itu tak disambut senyum ibunya. Bu Susi, ibu kandung Ari, meninggal saat melahirkannya.

"Susi... kamu pergi terlalu cepat," gumam Pak Deny sambil menggenggam tangan istrinya yang dingin. 

" Ya Allah...kuatkan hatiku, lindungi kami dari marabahaya dan ujian yang tidak sanggup kami tanggung...!" Lirih pak deny. 

Sambil menggendong bayi mengunjungi makam ibunya yang masih merah

Gambar ilustrasi dari canva desain
Gambar ilustrasi dari canva desain

Hati pak deny hancur, luluh lantak, dipeluknya bayi merah itu dengan penuh kasih sayang, butiran airmata menetes membasahi wajah bayinya yang menangis... Entah karena kehilangan ibunya atau karena pertama melihat dunia yang kejam. 

Hari hari pak deny merawat ari dan membesarkan dengan kasih sayang, dan penuh perhatian. 

" Ari....tumbuhlah jadi anak yang sholeh,kuat,sabar dan cerdas...nak! " Kata pak deny sambil mencium keningnya.

Meskipun Ari tumbuh tanpa pelukan ibu. Tapi memiliki hati yang baik, sebagaimana Bu Susi adalah wanita lembut dan penuh cinta. Sifat itulah yang diwarisi Ari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun