“Saya juga tidak meminta apa-apa, Bu. Saya hanya... akan tetap ada. Seperti biasa. Menemani panjenengan, murid-murid kita, dan hidup ini dengan tulus... seperti yang saya pelajari dari panjenengan sendiri.”
Mereka saling menatap. Tidak ada janji. Tidak ada pengakuan. Hanya sepasang jiwa yang saling memahami bahwa menabur asa yang fana akan berbuah duka.. kadang bukan soal memiliki, tapi tentang menemani—dalam diam, dalam luka, dalam doa yang tak pernah selesai dipanjatkan.
Di antara papan tulis dan jejak kapur,
Terselip kisah yang tak berani muncul,
Tentang dua hati yang saling menengok,
Namun tak pernah cukup waktu untuk duduk bersama.
Langkahmu, bagai embun pagi,
Lembut, tulus, menghapus letih tanpa janji,
Sementara ku yang terbungkam sepi,
Hanya bisa merindukan dalam doa yang tak terdengar lagi.
Kita bukan kisah yang hingar,
Bukan puisi dengan akhir yang mekar,
Tapi kita adalah sunyi yang saling mengerti,
Adalah jeda yang saling menanti, tapi tak berlari.
Rasa tak sempat tumbuh di taman,
Tapi akar-akar rindunya menembus dalam,
Ia tak berbunga, tak pula berbuah,
Namun wangi kesetiaannya, tetap tinggal di tanah basah.
Kini pergi, membawa kenangan yang tak pernah reda,
Kau tetap di sana, melanjutkan cerita yang mulia,
Dan meski dunia tak menyatukan langkah kita,
Biarlah langit menyatukan niat yang pernah ada.
Untukmu, guru dengan hati paling bening,
Aku titipkan rasa yang tak pernah kering.
Bukan untuk dimiliki, bukan pula dirindui,
Tapi cukup untuk dikenang… dalam diam, dalam suci.
Biarkan serpihan rindu dari bongkahan hati terdalam telah hilang terkubur dalam kenangan yang usang.....
S E L E S A I