Mohon tunggu...
Rofinus D Kaleka
Rofinus D Kaleka Mohon Tunggu... Insinyur - Orang Sumba. Nusa Sandalwood. Salah 1 dari 33 Pulau Terindah di Dunia. Dinobatkan oleh Majalah Focus Jerman 2018

Orang Sumba, Pulau Terindah di Dunia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rangga Mone Lolos dari Awal Pencobaan Cintanya

27 Mei 2019   23:03 Diperbarui: 28 Mei 2019   20:31 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah kembali dari desa di wilayah selatan Kota Pelajar, kos Rangga Mone makin sering dikunjungi oleh teman-teman barunya. Mereka adalah mahasiswa-mahasiswi dari fakultas yang berbeda dan satu kelompok dalam Kuliah Kerja Nyata (KKN) di desa. Mereka datang ke kosnya dalam rangka menyusun laporan hasil KKN.

Disamping teman-teman kelompok KKN-nya, ada juga teman-temannya dari desa lokasi KKN selama dua bulan penuh. Mereka adalah para pemuda karang taruna dari desa yang kangen dengan Rangga Mone.

Satu-satunya pemudi dari desa yang sering mengunjungi Rangga Mone adalah anak dari sebuah keluarga, tempat tinggal Rangga Mone dan teman-teman satu kelompoknya. Gadis cantik ini adalah mahasiswi pada salah satu perguruan tinggi swasta di Kota Pelajar. Setiap kali gadis berhijab ini datang selalu tidak lupa membawa oleh-oleh makanan khas pedesaan.

Suatu hari, ibu kos dan anak gadisnya yang masih SMA,  menggoda Rangga Mone, setelah gadis mahasiswi itu pulang. "Huh, cewek mas Rangga itu, cuantik banget ya!" kata ibu kosnya.

"Itu cewek mas Rangga yang satu, yang namanya Mbak Tari, juga cuantik lho bu!" tutur putrinya.

"Lebih cuantik yang berkerudung itu lho nduk! Hampir mirip kamu," timpal ibu kos kepada putrinya.

"Ahhh, ibu ini. Nanti mas Rangga bingung lho bu," respon putrinya.

"Bukan bu, bukan bu, bukan bu. Itu bukan cewek saya. Itu teman saja. Yang ade bilang itu yang cewek saya bu," kata Rangga Mone memberi klarifikasi.

"Tapi itu cewek yang ibu bilang, kayaknya suka banget sama mas Rangga," tutur ibu kos.

Sambil tersenyum malu, Rangga Mone segera menghindar dari ibu kosnya. Tapi ibu kos dan anak gadisnya terus saja menggodanya, sampai Rangga Mone cukup jauh jaraknya dan tidak sempat lagi mendengarkan godaan ibu kos dan putrinya.

***** *****

Sebuah dusun, lokasi KKN Rangga Mone dan teman-teman kelompoknya, bernama Sambeng Kaleh. Dusun ini terletak di sisi timur sebuah sungai besar yang merupakan sumber air irigasi lahan persawahan di sisi baratnya.

Warga dusun ini umumnya bermata pencaharian sebagai petani. Sebagiannya berdagang dengan membuka warung. Di sini hanya sedikit warga yang berprofesi sebagai pegawai.

Rata-rata pendidikan mereka SMP dan SMA. Sedangkan yang sarjana, masih dapat dihitung dengan jari. Itu pun mereka lebih memilih tinggal di daerah perkotaan. Demikian pula para pemuda-pemudinya lebih memilih mengadu nasib ke kota.

Di dusun ini Rangga Mone dan teman-temannya tinggal di rumah seorang keluarga pegawai negeri sipil pada kantor agama di daerah itu. Keluarga ini termasuk muslim taat, namun moderat dan nasionalis. Mereka mempunyai empat orang anak, satu laki-laki (anak sulung) dan tiga perempuan. Anak mereka yang nomor dua, perempuan, sudah berkeluarga. Sementara anak nomor tiga sudah punya tunangan dan anak bungsu belum punya pacar.

Keluarga ini juga sangat baik hati dan berempati kepada Rangga Mone dan teman-temannya. Rangga Mone, sebagai orang luar Jawa dan non muslim, sangat merasakan kebaikan keluarga ini. Terutama waktu ia sakit, demam tinggi, batuk dan pilek, Rangga Mone dirawat oleh keluarga ini seperti anak mereka sendiri. Saat itu, ibu dan putri bungsunyalah dalam keluarga ini yang paling berperan aktif mengurus Rangga Mone sampai sembuh.

***** *****

Di luar dugaan Rangga Mone, hanya dalam waktu kurang dari seminggu, simpati warga dusun Sambeng Kaleh terhadapnya mengalir seperti air. Wajarlah jika ia memanen simpati demikian itu. Sebab karakternya sangat mendukung.

Secara fisik, Rangga Mone tidak menunjukkan ciri-ciri sebagai orang luar Jawa. Tinggi langsing, kulit kuning langsat, wajah tampan dan hidung mancung. Perilaku sopan dan tutur katanya halus berwibawa. Suka bergaul dan mudah bersosialisasi tanpa pandang buluh. Mulai dari anak-anak sampai dengan orang tua, termasuk ibu-ibu. Ide-idenya cerdas dan terampil mengorganisir karang taruna untuk melakukan kerja gotong-royong. Aktif melakukan sarasehan bersama bapak-bapak dan ibu-ibu. Hanya rambutnya yang ikal dan dialeg khasnya yang tidak bisa disembunyikan bahwa ia berasal dari suku bangsa wilayah tengah nusantara.

Rangga Mone juga tidak fanatik. Ia selalu melibatkan diri dalam kegiatan di Mushola, baik sarahasehan rohani maupun mengkoordinir muda-mudi untuk latihan mengaji. Uztad di Mushola ini sangat heran dan cukup mengagumi sosok Rangga Mone.

"Baru kali ini saya ketemu orang seperti Mas Rangga, non muslim tapi tidak merasa enggan sedikitpun untuk terlibat di kegiatan Mushola. Mas Rangga patut diteladani karena sangat toleran dengan umat lain," tutur Uztad tersebut.

"Pak Uztad ini, main puji saja. Saya bisa besar kepala lho! Kalau Pak Uztad dan teman-teman di sini tidak familiar, pasti saya tidak ikut dong!" respon Rangga Mone kelakar.

"Di tempatnya mas Rangga hubungan antar umat beragama sangat baik. Jika bangun gereja, umat muslim juga bantu. Demikian juga, kalau bangun Masjid, umat Katolik juga bantu. Dalam kegiatan-kegiatan rohani pun mereka saling mendukung dan menghormati," sambung spontan anak bungsu dari keluarga tempat tinggal Rangga Mone, yang posisi duduknya tidak berjauhan dengan Rangga Mone.

"Wahhh, mbaknya sudah tahu duluan dari saya ya mas Rangga," kelakar Pak Uztad.

"Iya Pak Uztad, saya pernah ceritera di rumahnya bersama kedua orang tuanya dan teman-teman saya," komentar Rangga Mone secepatnya, supaya gadis bungsu itu tidak tersinggung dengan kelakar Pak Uztad.

Teman-teman mahasiswi Rangga Mone senyum-senyum sambil melirik Rangga Mone dan gadis bungsu tersebut. Rupanya mereka sudah menangkap gejala lain dari sikap gadis bungsu itu.

***** *****

Setiap pagi, saat hendak berangkat kuliah, gadis bungsu ini, selalu saja ada caranya untuk meminta bantuan Rangga Mone mengantarnya ke jalan persimpangan, tempatnya menunggu bus angkutan pedesaan menuju Kota Pelajar. "Nduk, kamu bikin repot mas Rangga saja," kata ibunya suatu pagi. Ayahnya yang sedang memperhatikan sikap anak gadisnya, kemungkinan juga mau berkata begitu.

"Ibu ini, mas Rangga saja tidak keberatan ko!" timpal gadis bungsu ini manja.

"Saya tidak masalah bu. Mungkin dia merasa nyaman kalau saya yang antar. Saya 'kan lebih tua. Sebagai kakak, kebetulan saya di sini, saya pikir tidak ada salahnya, jadi security-nya," komentar Rangga Mone sambil bergurau.

"Harap maklum ya mas Rangga. Anak bungsu ibu ini memang begitu. Sulit sekali melarang kemauannya," tutur ibunya.

Di saat malam pun, jika ada kegiatan sarasehan di pendopo Kepala Dusun, gadis bungsu ini, selalu saja ada caranya untuk mendapat restu dari ibunya supaya mendampingi Rangga Mone dan teman-temannya. Suatu malam, seorang teman mahasiswi Rangga Mone, membisiki Rangga Mone, "Dia kesengsem sama kamu lho!"

"Apa? Kamu ada-ada saja," bisik balas Rangga Mone.

"Tidak percaya ya. Dia sering tanya-tanya tentang kamu sama saya," kata temannya memberi keyakinan kepada Rangga Mone.

Rangga Mone pun menjadi teringat kejadian beberapa hari sebelumnya, saat seorang gadis adik angkatan di fakultasnya mengunjunginya. Gadis cantik asal Jawa Tengah ini sangat akrab dan manja kepadanya. Pakai Cipika Cipiki lagi. Setelah teman Rangga Mone ini pulang, gadis bungsu itu mengurung diri di kamar dan saat bangun di pagi hari cemberut terus serta tidak mau minta bantuan Rangga Mone lagi untuk mengantarnya belanja di pasar.

Waktu itu Rangga Mone merasa ada sesuatu yang ganjil. "Mengapa hari ini, sikapnya begitu aneh," tanya Rangga Mone kepada teman mahasiswinya.

"Kayaknya gara-gara adik angkatanmu yang datang kemarin," komentar temannya.

"Masa sih. Tolong dijelasin dong apa adanya kepadanya. Kasihan anak gadis orang kalau stress. Mereka sangat baik sama kita," pinta Rangga Mone.

Sehari kemudian, sikap gadis bungsu ini kembali seperti biasa. Penuh semangat dan ceria kembali.

***** *****

Sekitar dua bulan kemudian, Rangga Mone dan teman-temannya, datang kembali di dusun Sambeng Kaleh. Mereka datang untuk mengikuti hajatan di rumah keluarga tempat tinggal mereka selama KKN. Mereka hadir atas undangan anak sulung keluarga tersebut.

Sementara hajatan berlangsung, anak kedua dari keluarga tersebut, sempat bergurau. "Hari ini ayah dan ibu sepertinya sangat berbahagia. Karena tiga orang anak mantunya hadir semua," tuturnya tanpa beban sambil tertawa.

"Anak mantu yang satu yang mana ya?" tanya  warga dusun yang hadir.

"Ada saja. Nanti akan kenal juga," sambung putri pertama keluarga itu.

Kedua orang tua dalam keluarga itu hanya tersenyum saja. Semua yang hadir mengarahkan pandangan ke Rangga Mone. Teman-temannya batuk-batuk kecil. Rangga Mone seperti kesambar kilat. Namun ia berusaha menguasai dirinya dan tampak tenang sambil tersenyum-senyum dengan sikap biasa-biasa saja.

Rangga Mone mengawasi Hesty Ririn, nama gadis bungsu di keluarga itu.  Memang tampak cantik dan manis di bawah balutan busana hijabnya yang berwarna ping.

Saat hajatan selesai, Rangga Mone dan teman-temannya pamit pulang. Ketika mereka hendak pulang, putri pertama keluarga itu,  entah mungkin ingin betul-betul menjodohkan adik bungsunya dengan Rangga Mone atau sekadar bergurau saja, ia segera menghentikan langkah dan memeluk Rangga Mone,  lalu berkata dengan santai sambil tertawa, "Ade Rangga jangan pulang dulu malam ini. Esok saja  baru pulang. Malam ini ngobrol dengan ade Ririn dulu. Bagaimana Ririn?" Ririn langsung menghilang ke kamarnya.

Rangga Mone betul-betul mati kutu saat itu. Tapi ia bukan tipe orang yang grogi dan mudah masuk dalam jebakan cinta. Ceriteranya akan lain jika saat itu ia tidak sedang menjalin cinta dengan Tari Mbuku.

Dengan gaya santunnya, Rangga Mone mencium tangan putri pertama keluarga itu, kemudian dengan alasan akan mendampingi mahasiswa-mahasiswi praktikum di laboratorium keesokan paginya, ia bisa lolos dari awal pencobaan cintanya.

"Kalau begitu, mbak ijinkan dulu pulang malam ini. Tapi jangan lupa segera ke sini lagi ya! Ririn akan kangen lho. Jika Ririn sampai nangis, mbak akan jemput ade," pinta anak kedua keluarga itu.

"Siap. Hormat mbak. Pasti akan segera datang lagi. Selamat malam semuanya," tutur Rangga Mone. Dan mereka pun segera meninggalkan dusun Sambeng Kaleh.

            

Tambolaka, 27 Mei 2019

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun