Sore itu, ruang tunggu UPK Mata RSCM Kirana tampak seperti biasa, ramai, sesak, tapi penuh harapan. Seorang anak laki-laki duduk di bangku plastik biru, mengenakan jaket tipis dan celana training biru dongker. Namanya Nusantara Bhumi Aguna, biasa dipanggil Nubhu. Usianya tujuh tahun. Dan hari itu, ia akan menjalani operasi keduanya.
Mamah Agis duduk di samping, menggenggam tangan kecil Nubhu. Tak ada kata-kata. Hanya napas yang mereka atur agar tidak terlalu terdengar gugup. Ini bukan pertama kalinya mereka ke rumah sakit. Tapi tetap saja, menunggu giliran masuk ruang operasi seperti menunggu nasib ditentukan.
Nubhu punya mata yang istimewa sejak lahir. Kelopak mata kirinya lebih kecil dari kanan, istilah medis turunnya kelopak mata yakni Ptosis. Kelihatan seperti mengantuk terus. Kadang ia merasa perih, silau kalau kena cahaya, atau matanya berkedip terlalu sering saat terkena angin. Orang-orang bilang, ini biasa. Tapi lama-lama, kata-kata orang berubah jadi ejekan. Teman-temannya di sekolah mulai memanggilnya dengan sebutan yang membuatnya menunduk lebih dalam.
Pengobatan dimulai dari klinik biasa, Faskes tingkat pertama. Dokter menulis surat rujukan ke rumah sakit daerah. Pemeriksaan berlanjut: darah, rontgen, dan cek anestesi. Semua ditanggung BPJS. Tanpa biaya, tanpa pungutan, tapi penuh perjuangan. Antrian, kontrol ulang, konsultasi, sampai akhirnya mereka menginjakkan kaki di RSCM Kirana dan bertemu dokter dari poli plastik rekonstruksi mata.
Operasi pertama berjalan cukup lancar. Dokter menjahit kelopak mata kiri agar bisa sejajar dengan kanan. Tapi hasilnya belum maksimal. Mata Nubhu malah memerah. Ternyata bulu matanya menyentuh bola mata, membuatnya makin perih.
Operasi kedua dijadwalkan sebulan kemudian. Kali ini, jahitan ditarik sampai ke ujung kelopak, agar bentuknya benar-benar simetris. Rasa takut masih ada. Tapi kali ini Nubhu tidak menangis.
Setelah operasi, Nubhu menatap cermin kecil di ruang perawatan. Matanya masih bengkak, tapi senyum kecil muncul dari wajahnya. Untuk pertama kalinya, ia merasa sama. Sama dengan teman-temannya. Tak lagi kecil sebelah. Tak lagi jadi bahan olok-olok. Tak ada lagi tangis saat terkena angin, atau silau karena cahaya.
Mamah Agis mengusap rambutnya. "Sudah ganteng sekarang," katanya pelan.
"Udah nggak sakit lagi, Mah," jawab Nubhu. Kalimat yang tak ternilai untuk seorang ibu yang tiap malam mendengar anaknya mengeluh.
Sejak itu, Nubhu tak lagi sembunyi saat bermain. Ia lebih percaya diri, lebih berani bertanya di kelas, lebih sering tersenyum. Gurunya bahkan sempat bertanya, "Nubhu, kamu habis liburan di mana? Kok ceria banget?"