“Tandya, Dyah Dewi. Tenagaku tadi habis-habisan untuk menyusulmu. Selain itu, aku kagum dengan pengetahuan Dyah Dewi juga penguasaan jurus kuntul ini, tingkat ilmu ringan tubuh nyatanya lebih tinggi dariku. Harus aku akui, tadi Dyah Dewi sengaja mengalah, memberi kesempatan untuk menyusul dan membiarkan aku menang.” Jawab Utami sambil menangkup dua tangan tanda berhormat.
“Hahahaha,.. ya sudahlah, bagaimanapun aku kalah. Sesuai janji, malam ini makanlah sepuasmu, aku yang bayar”, ucap Dyah Dewi sambil menghela tali kekang kuda untuk segera beranjak dari tempat itu.
Bertiga segera bergerak menuju ke kedai Jaran Keling dimana Ki Demang sudah menunggu. Beriringan bersama dengan posisi Dyah Dewi agak di depan, kuda tunggangan Utami sejajar dengan si pengawal;
"Dengan siapakah gerangan perwara yang menemani Dyah Dewi ini?" Ujar Utami menoleh ke si ‘pengawal’ yang sedari tadi diam, dan hanya bereaksi membalas Utami dengan tatapan bersahabat.
“Selasih, namanya. Ia tuna wicara sejak kecil. Dia diasuh oleh Ibunda Gayatri, ditemukan oleh patroli prajurit pengawal saat masih bayi di dalam sebuah pedati yang terpisah dari rombongan dan dirusak, sepertinya diserang begal. Kedua orang tuanya mungkin terbunuh atau menjadi tawanan oleh gerombolan begal itu. Bayi kecil, tertutup kain dan sendirian itu diserahkan dan mulai sejak saat itu Selasih dibawah asuhan Ibunda Gayatri. Nama Selasih dipilih oleh Rajapatni sendiri. Untuk mengingat akan kesamaan nasib, sama-sama menjadi korban dan tertawan oleh keadaan.
Ibunda Gayatri sendiri dahulu adalah tawanan Jayakatwang sebelum akhirnya di bebaskan oleh Ayahanda Dyah Wijaya, kemiripan atas nasib dari takdir yang digariskan oleh Dewata Agung pada suatu masa di penghujung runtuhnya Singhasari.”
Dyah Dewi menjawab pertanyaan Utami soal pengawal satu-satunya yang menyertai dalam misi ke Kadipaten Tuban.
Utami melirik ke Selasih, senyum tipis dan kedipan mata Selasih seperti mengiyakan atas cerita yang Dyah Dewi sampaikan. Utami seklias menatap ke hamparan langit biru, ia hembuskan nafas dengan pelan, kepiluan merasuk dalam batin Utami menyimak cerita tragis dari sosok pengawal Dyah Dewi tadi.
“Jika ada waktu dan kesempatan, ajarilah ia satu dua jurus dari Padepokan Ragasemangsang.” Dyah Dewi berucap ke Utami.
“Tandya, Dyah Dewi, dengan senang hati. Bila perlu, Selasih mampir ke Padepokan, sekembalinya dari Tuban.”
Tak berlama-lama dalam bercakap-cakap, bertiga memacu kudanya agak cepat. 1 kelokan lagi di depan jalan besar mengarah ke kedai, dekat gapura masuk ke dermaga niaga Tuban.
…
Sementara itu, beberapa tombak dibelakang mereka, selarik kelebat bayangan bergerak lari membuntuti. Dari gesitnya gerakan menandakan penguasaan ilmu ringan tubuh tingkat tinggi.
Bergerak senyap, seolah memang tidak ingin terlihat, bergerak diam menyisakan bayangan pohon-pohon besar di sepanjang perjalanan.
Hingga pada sebuah tempat di ujung kelokan jalan besar, sebuah gubug yang sepi tapi nampak berpenghuni dikelilingi pagar bambu, letaknya agak tersembunyi di antara pohon besar membelakangi jalan besar arah kadipaten. Rombongan Utami baru saja melintas, sengaja tak memperhatikan akan adanya gubug kecil itu. Utami jalan di depan, penunjuk jalan untuk menuju ke kedai Jaran Keling. Hari semakin siang, berkejaran dengan waktu yang semakin sempit dan tugasnya akan semakin menjadi pelik.