Mohon tunggu...
Robbi Khadafi
Robbi Khadafi Mohon Tunggu... Jurnalis - Tukang Ketik

Kecil disuka muda terkenal tua kaya raya mati masuk surga

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Menganalisa Benarkah Poin Revisi UU KPK Melemahkan?

8 September 2019   12:54 Diperbarui: 8 September 2019   12:58 953
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: harianaceh.co.id

DPR sudah menyetujui pembahasan Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Tindak Pidana Korupsi (RUU KPK) menjadi inisiatifnya. Munculnya RUU KPK secara "senyap" menjelang akhir masa jabatan anggota DPR periode 2014-2019 ini patut dipertanyakan. 

Masyarakat sipil anti korupsi juga menolak RUU ini karena point-pointnya melemahkan lembaga antirasuah ini.Ahli hukum pidana Suparji Achmad menganalis enam point yang ada dalam RUU KPK. 

Pertama, KPK bukan lagi lembaga independen tetapi masuk ke ranah eksekutif. Pegawai KPK juga menjadi ASN. Suparji mengatakan saat ini masih mempertanyakam "kelamin" KPK ini apa. 

Kalau dikatakan KPK bagian dari yudikatif, KPK bukan kekuasaan kehakiman. Legislatif, KPK bukan pembuat UU. Makanya posisi di eksekutif diposisikan seperti Kejaksaan dan Kepololisian.

"Ini upaya memperjelas statusnya," kata Suparji Achmad di Jakarta, Jumat (6/9/2019).

Lebih lanjut Suparji mengatakan yang paling penting adalah bagaimana hal itu tidak mengurai netralitas dari KPK. Misalnya KPK lembaga non kementerian tetapi ditangan Presiden itu lemah juga. Kalau di identikan dengan BNN, BKPN, itu kan menjadi melemahkan. Kalau itu dikategorikan seperti Ombudsman, Komisi Yudisial, mereka pada posisi ada dasar hukumnya. 


"Harapan kita ada penguatan KPK," ujarnya.

Suparji menambahkan bahwa persoalannya dari awal KPK lembaga ad hoc makanya kemudian tidak bisa permanen. Yang harus dijaga adalah bagaimana tidak kurangi kinerja KPK. Positifnya, dengan korupsi yang masih menjamur, kalau KPK masih ad hoc maka itu melemahkan pemberantasan korupsi. 

Namun Suparji mempertanyaka apabila KPK sebagai lembaga permanen, lalu kedudukan Kepolisian dan kejaksaan bagaimana? Akhirnya dilema tidak bisa dikatakan ad hoc, permanen.

"KPK supervisi kepolisian dam kejaksaan tidak jalan. Ego sektoral tidak bisa dipungkiri," katanya.

Kedua, penyadapan KPK izin dewan pengawas. Suparji menilai penyadapan itu senjata andalan KPK untuk OTT. Masalahnya kadang-kadang ada bias karena banyak hal penyadapan itu tak terkait penegakan hukum juga di ekspos. Penyadapan itu tidak dalam konteks pencegahan tetapi penggiringan. Mestinya orang mau terima suap dikasih tahu.

"Tetapi KPK justru menggiring. Kalau pelanggaran HAM misalnya personal akhirnya diumbar publik, menghancurkan anak istrinya. Itu jadi dilema," ungkapnya.

Suparji menjelaskan KPK selama ini melakukan penyadapan tidak izin pengadilan, KPK melanggar. Suka-suka saja KPK menyadap. Solusinya sebenarnya bisa melalui UU Penyadapan yang sedang di bahas DPR yang seharusnya di integrasikan dengan UU KPK.

Grafis: Tempo.co
Grafis: Tempo.co
Ketiga, bersinergi dengan penegak hukum lain. Terpadu tidak bisa sendirian. Polisi dapat kasus melimpahkan ke Kejaksaan. Kejaksaan melimpahkan ke pengadilan, pengadilan harus berkordinasi dengan lembaga pemasyarakatan. Kewenangan penyidikan dan penuntutan KPK itu tidak bisa jalan sendiri. 

"Selama ini belum optimal, sektoral. Yang tidak nampak sinergi dengan kepolisian dan kejaksaan," tuturnya.

Keempat, LHKPN itu sebuah ketentuan yang baik agar fungsi pencegahan jalan. Bersifat kewajiban, jadi KPK harus lebih intensif. Pendataan itu substantif artinya di deteksi. "Perlu diperbaiki sunstansi laporannya. Ketika tidak laporan sanksi hukumnya tidak ada. Pemeriksaan itu harus di konfirmasi secara aktual," katanya.

Kelima, dewan pengawas dipilih presiden dan DPR. Menurut Suparji, belum cukup pengawasan dari DPR karena tidak bersifat memberikan tekanan, artinya beberapa rekomendasi rapat kerja, tidak melaksanakan sanksinya tidak ada. Pengawasan itu banyak menentang birokrasi dan melemahkan semangat pemberantasan korupsi. Sisi positifnya untuk kinerja KPK lebih baik.

Lalu pertanyaannya adalah siapa yang bisa menjamit dewan pengawas itu lebih kredibel, indepeden? Suparji menjawab bahwa mekanisme jabatan publik itu selalu kompromi politik. "Karena diawasi maka kerja lebih profesional, lebih hati-hati. Tetapi itu bisa juga membuat orang malas bekerja," katanya.

Keenam, KPK bisa keluarkan SP3. Suparji mengatakan selama ini beberapa kasus di KPK belarut-larut penanganannya. Misalnya orang jadi tersangka tidak jelas kapan berakhirnya. Menurutnya, itu sebuah pelanggaran. Tidak cukup alat bukti misalnya, tidak bisa dihentikan. 

"Meskipun selama ini tidak ada SP3, KPK dilakukan diam-diam misalnya kasus skandal Bank Century. Tidak ada kejelasannya, didugat praperadilan dan dimenangkan. Lebih ke arah kepastian," jelasnya.

Dalam perspektif yang pesimis, Suparji menilai SP3 itu cenderung jadi sarana kompromi untuk hentikan perkara. Kekhawatiran itu bisa diantisipasi, begitu keluar SP3 tanpa ada alasan yang jelas, KPK bisa digugat praperadilan. SP3 ini dimungkinkan dengan rambu-rambu yang jelas. 

"Fakta sesuai KUHAP harus ada 2 alat bukti untuk menetapkan tersangka, kasusnya juga tidak maju-maju," katanya menyesalkan.

Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia ini menambahkan ini menandakan proses penetapan tersangka belum membuktikan untuk diproses ketahap lebih lanjut. 

"Seharusnya ketika sudah menetapkan tersangka langsung dilimpahkan ke penuntut umumnya. Jaksa KPK segera menuntut ke pengadilan. Point ini mendorong agar KPK hati-hati dalam menetapkan tersangka," pungkasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun